Dalam seri ini, Pater Eddy membagikan kepada kita bahwa tempat baru selalu penuh tantangan yang kadang membuat hati kecut dan nyali luluh. Namun dengan kesetiaan dan keberanian yang tangguh Pater Eddy sampai juga di Yap Islands dan bergelut dengan suka duka karya di sana: berjuang seorang diri, menyelami budaya Yapese dan sekaligus menjadi semakin dekat kepada Allah sendiri dan meneguhkan panggilan imamat dan Jesuitnya. Kisah berikut ini sungguh dinamis, dan membuat kita bisa termenung mengambil inspirasi dari pengalaman Pater Eddy ini. Selamat menikmati.
P. Eddy Anthony, SJ
Anima Christi
Dari paroki St Yohanes Pemandi di Waghete kini aku harus pindah ke
Peta Kepulauan Yap di Lautan Pasific.
Butuh ketelitian untuk mencari letaknya via Google Earth
Ternyata jiwaku masih rapuh, integrasi hidup rohaniku selama penggemblengan di wilayah pedalaman belum benar-benar nyata dan terwujud ketika harus dihadapkan pada disponibilitas, yaitu siap sedia bagi tugas perutusan yang baru. Aku mulai berdoa ‘Anima Christi’ sebuah doa yang paling favorit bagi St Ignatius Loyola.
“Jesus … Best Friend, may your soul give life to me, may your flesh be food for me, may you warm my hardened heart”.
17 Agustus 2005
Bagi bangsaku tanggal 17 Agustus adalah hari bersejarah, demikian juga bagi diriku. Hari itu pertama kali aku mendarat di Yap. Saya bayangkan seperti di Waghete, banyak orang akan menyambutku. Ternyata keliru, hanya seorang Jesuit meyambutku dan memberiku kalungan bunga. Dialah Apolinaris Thall, SJ, yang pada hari-hari selanjutnya memperkenalkan seluk beluk Paroki
Pastoran Paroki Yap di pinggir laut (photo: dok.pribadi Pater Eddy)
Missa pertama
Misa pertama dalam bahasa Inggris, sedangkan nyanyian, doa, bacaan kitab suci menggunakan bahasa Yapese, kami adakan di Gagil. Pada awal missa, saya berkata, bahwa kalau ada kesalahan ucapan, kalimat dan kata-kata dalam bhs Inggris dan Yapese, mohon dicatat dan dihitung, berapa banyak kesalahan yang saya buat. Kemudian sesudah missa, pada saat sesudah pengumuman gereja dibacakan, saya mulai bertanya:
"berapa kesalahan yang kalian temukan pada diriku?
“Nothing”, Jawab mereka.
"Lho piye tha iki. Ah yang bener aje," aku mulai protes.
Teringat olehku akan St Ignatius ketika pertama kali merayakan missa dalam bahasa Italia, sebelum misa, beliau berkata bahwa kalau ada kesalahan tolong dicatat. Beliau merasa bahwa ada banyak kesalahan yang dilakukannya, namun orang-orang berkata:
"bukan kata dan ucapan yang penting bagi kami melainkan kehadiran Allah dalam perayaan Ekaristi yang memberi kami damai"
Mulai dari pengalaman missa pertama itulah aku mulai berani berkomunikasi dengan mereka orang-orang Yapese, aku mulai belajar bahasa mereka, budaya dan adat istiadat mereka. Makanan sehari-hari, selain beras import dan makanan kalengan, adalah makanan dari kebun mereka berupa ‘potatos, yam, taro’ (jenis umbi-umbian yangsama jenisnya dengan yang tumbuh di Waghete Papua). Makanan tradisional ini rupanya juga membentuk masyarakat yang sangat dekat dengan alam. Alam kepulauan yang indah dan subur, dipenuhi dengan berbagai macam jenis bunga, dan berbagai jenis buah-buahan, kelapa, bamboo, dan betelnut (pinang). Nah tumbuhan betelnut itulah yang ‘menghidupi’ mereka orang-orang Yapese. Tak ada seorang Yapese-pun yang hidup tanpa mengunyah pinang (nginang). Sebelum dan sesudah misa mereka nginang, bahkan di dalam gereja.
Bersama Deacon Arthur Donald Fijibman. Belajar bahasa Yapese sambil mau mencuci pakaian.
Latarbelakang adalah kebun betel nut (photo: dok.pribadi)
Bukankan kita juga mengunyah Jesus dan sabdaNya didalam perayaan Ekaristi? Kata ‘mengunyah’ nampaknya lebik cocok dari pada ‘makanlah dan minumlah inilah Jesus....’. Sejauh ini spiritualitas kristiani rasanya telah tumbuh berkembang dan terintegrasikan ke dalam hidup harian orang Yapese, antara lain kebiasaan duduk bersama sambil nginang (sharing dan mengambil putusan dalam pertemuan/rapat), kesatuan dengan alam ciptaan Tuhan, kekerabatan/keluarga, tanah dan rumah, kehadiran Allah dalam hidup mereka yang kita tanggapi dengan berbagai bentuk tarian dan kesenian Yapese. Pendek kata tradisi Yapese memiliki nilai-nilai spiritual kristiani.
(Bersambung)
0 comments:
Posting Komentar