Minggu, 19 Agustus 2007

Dari Papua Ke Yap Islands: Cerita Seorang Jesuit Pengembara (4)

Hidup dan tinggal serta sehati dengan masyarakat asli Papua sungguh merasuki hati dan panggilan Pater Eddy sendiri sebagai seorang Jesuit. Tantangan medan Papua yang ganas, sekarang sudah berubah menjadi sebuah "permata hati", yang membahagiakan karena pertama-tama banyak orang sudah terbantu lewat kehadiran Pater Eddy bersama rekan-rekan Jesuit seperjuangan di Papua dan juga Serikat Yesus. Kebahagiaannya terlihat jelas ketika usaha-usaha pastoral membuahkan hasil besar buat perkembangan masyarakat di sekitar, baik secara ekonomi, sosial, pendidikan dan juga iman katolik. Seperti layaknya seorang Jesuit sejati, Pater Eddy dengan siap sedia akhirnya pergi meninggalkan Tanah Papua, dan diutus untuk bertugas di Yap Islands. Sebuah tantangan baru. Selamat menikmati.
****

Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku (bagian ke-4)

P. Eddy Anthony, SJ

Penegasan bersama

Masih terngiang ditelingaku suara anak-anak Mee di Waghete yang berhasil menyelesaikan studinya di tingkat SD dan SMP Yayasan Katolik.

“Patoga, apakah Serikat Yesus masih mau bertanggungjawab atas kelanjutan studi kami?”
Pada waktu itu sampai pada awal millenium, di tahun 2000, di seluruh Keuskupan Jayapura hanya ada satu sekolah yang baik berpola asrama, mereka butuh uang banyak, selain untuk transpotasi juga untuk asrama dan studi. Anak-anak harus menempuh perjalanan sejauh Jogya – Semarang (sekitar 120 km) dengan berjalan kaki (belum ada jalan darat dari Waghete ke Nabire) dan dilanjutkan dengan pesawat dari Nabire menuju Abepura, disana ada SMA Taruna Bhakti (TB). Bagi yang mampu membayar pesawat jenis Cessna dari Waghete ke Nabire sekitar setengah juta rupiah waktu itu hanya dengan waktu kurang dari 40 menit sudah tiba di Nabire.

“Baiklah, kalau kamu mencapai nilai bagus dan lulus testing di TB maka saya bantu transpotasi dan uang asrama selama setahun” demikian jawaban dari Komugaibii.
Dengan keprihatinan macam ini, Serikat ingin menunjukkan keseriusannya dalam membekali dan membagikan kekayaan spritualitas serikat, melalui pendidikan agar semakin tercapai tujuan manusia diciptakan untuk mengabdi dan memuliakan Allah dalam segala sesuatu. Saatnyalah sekarang Serikat mengadakan penegasan bersama dalam bidang pendidikan.

Komunitas para Jesuits di Nabire mulai menggagas dan juga mengadakan penegasan bersama untuk terlibat pada bidang pengembangan sumber daya manusia (asli) Papua dengan membuka bengkel perkayuan dan terlibat di sebuah sekolah SMA Adiluhur, membangun asrama putra dan memperhatikan asrama putri. Nabire disepakati bersama sebagai residensi rumah serikat dengan karya propria Jesuits, asrama dan Kolese Le Cocq d’Armanville.

Hatiku lega ketika selama 2 tahun sejak penegasan dibuat, anak-anak Waghete bisa melanjutkan sekolah dengan beaya relatif lebih murah.

Lebih menggembirakan lagi bersamaan dengan gagasan Serikat untuk memilih Nabire sebagai rumah residensi, pemerintah telah memulai membangun jalan darat dari Nabire tembus ke Waghete. Tahun 2001 pertama kali sepeda motor masuk ke Waghete, dan tahun 2003 pertama kali sebuah truk masuk ke Waghete. Tak pernah terbayangkan, bahwa ada sebuah truk bisa masuk dipedalaman wilayah Tiga Danau (Paniai, Tigi dan Epouto), meski lebih dari 3 hari perjalanan dari Nabire ke Waghete, harus lewat kali dan naik turun gunung dan masuk keluar hutan belantara.

Meskipun Nabire sering digoncang gempa, namun Serikat tak pernah mengelak dari komitmen hasil penegasan bersama. Sebab itu aku bisa tersenyum bersama anak-anak Mee di Waghete. Beberapa kali kami dikunjungi oleh teman-teman Jesuit dalam dalam negeri dan luar negeri. Kami memperkenalkan diri dan menunjukkan kesungguhan kami demi masa depan Mee agar mereka bisa ‘duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi’ bersama suku-suku lain dari luar Papua, dan jangan sampai terjadi ‘orang lain yang merasa kuat menduduki mereka’. Jangan sampai kami ditindas, dikibuli dan dibohongi diperlakukan tidak adil, ditindak secara sewenang-wenang. Memang kami bodoh dan bloon, kotor dan berbau, hitam dan gelap, tak banyak yang bisa baca dan tulis, buta huruf dan buta bahasa, namun hati kami tetap berhati permata.

Tidurlah permata hatiku, esok pagi matahari ‘kan bersinar, hanya memberi tak harap kembali. Percayalah, tak ada seorang Jesuitpun yang tak kenal Waghete. Hanya perlu satu Hati dan budi seorang Komugaibii - dengan rendah hati dan siap sedia melayani dan mencintai sebagai orang non-Papua yang berhati Mee – misi serikat terwujud. Aku ini orang non-Papua , namun bukankah itu hanya soal tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, tetapi jiwa dan rohku dari Sumber yang sama. St Ignatius berkata: Siapapun engkau jika engkau masuk ke rumah orang lain, harus dengan rendah hati mengikuti aturan dan menerima apa saja yang disediakan dan berlaku dirumah itu.

ad Dispersionem

Saya sebenarnya ingin melanjutkan sharing saya tentang ‘permata hatiku’ di Waghete. Akan tetapi aku ini sudah terlanjur menjadi anggota ‘ad dispersionem’ artinya anggota serikat yang bersedia disebar kemana saja. Ya benar sekali, ‘disebar’ bukan dibuang atau dicampakkan. Atau kalau mau disebut lebih spiritual, bersedia untuk diutus kemana saja. Terkadang kata ‘kemana saja’ itu menjadi peluang untuk para anggota Serikat merangkap jabatan bertumpuk-tumpuk, sehingga rasanya batok kepala bagaikan ditimpukin batu kali berkali-kali.

Ada tiga semboyan bagi anggota Serikat Provinsi Indonesia, yang dilontarkan seorang Provinsial, pada tahun 2002 yaitu Indonesia, Inclusive dan International. Maksud itu apa sebenarnya tidak begitu jelas bagi saya. Tidak jadi soal. Namun barangkali itulah yang menjadi alasan Pater Provinsial menawari saya untuk memikirkan tugas pelayanan di sebuah pulau sangat kecil di tengah lautan Pasific, Yap Islands, Federated States of Micronesia (FSM).

Sejak tahun 1977 sebenarnya serikat provinsi Indonesia setiap tahun atau dua tahun sekali mengirimkan dua scholastiknya ke wilayah FSM, sebagai masa formasi bagi para Jesuit. Sejauh saya tahu mulai th 2003 dikirimlah seorang imam bersama seorang scholastic ke FSM untuk menangani Xavier High School, di Chuuk, FSM. Dan tahun 2004 akan disebarkan pula anggota Provinsi Indonesia untuk menangani sebuah paroki. Paroki St Joseph’ Parish tanpa gembala lagi. Pater Neil Poulin SJ yang sudah lebih dari 30 th di paroki itu pulang kepada Bapa pada 28 Mei 2004.

(Bersambung)


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

0 comments: