Sama seperti Santo Ignatius Loyola, Pedro Arrupe adalah keturunan Basque, Spanyol Utara. Kemiripan fisik dan wajahnya seperti Santo Ignatius dan juga kepemimpinannya yang cemerlang itulah yang membuat sebagian orang menjulukinya “Ignatius kedua”. Sebelum bergabung dengan Jesuit, Don Pedro adalah seorang mahasiswa kedokteran. Studi kedokterannya dia tinggalkan setelah dia terlibat dalam penyelidikan peristiwa penyembuhan di Lourdes yang dialami seorang anak yang berpenyakit polio. Pengalaman ini begitu transformatif dalam hidupnya sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan studi kedokterannya dan bergabung dalam Ordo Serikat Yesus di Loyola, Spanyol, tanah kelahiran Santo Ignatius.
Ketika Jesuit diusir dari Spanyol pada tahun 1932, Arrupe melanjutkan formasi Jesuitnya di Belgia, Belanda dan Amerika Serikat. Pada umur 29 tahun, dia ditahbiskan menjadi imam dan 2 tahun kemudian dikirim untuk bekerja di tanah misi: Jepang.
Memahami budaya setempat merupakan prioritas Don Pedro. Itulah sebabnya ketika sampai di Jepang, beliau langsung berketetapan hati untuk belajar bahasa Jepang dan juga adat istiadatnya: Upacara minum teh, kaligrafi dan bahkan merangkai bunga. Salah satu hal yang terkenal dari dirinya berkaitan dengan adat istiadat jepang adalah caranya berdoa dengan duduk bersila. Cara ini dia pakai sepanjang hidupnya dan bahkan ketika beliau menjadi superior general di Roma.
Perjalanan hidupnya sebagai Jesuit di Jepang penuh dengan tantangan. Don Pedro sempat dituduh mata-mata “barat” dan dijebloskan ke penjara seorang diri selama 35 hari. Don Pedro mengakui bahwa masa-masa sulit itu merupakan masa yang sangat transformatif dalam hidupnya sebagai Jesuit, karena disitu beliau belajar banyak soal makna keheningan, kesendirian dan hidup miskin. Don Pedro pun mengalami masa-masa sulit ketika menyaksikan sendiri ledakan bom atom Hirosima, dan harus berjuang siang malam membantu para korban dan menguburkan yang meninggal.
Setelah sempat menjadi Magister Novis di jepang dan berikutnya menjabat sebagai Pater Provinsial, Pater Pedro Arrupe diangkat menjadi Superior General Serikat Yesus. Di bawah kepemimpinan Pater Pedro Arrupe, Serikat Yesus mencoba kembali merumuskan identitas dan peran mereka di dalam dunia. Pater Pedro Arrupe menyerukan kepada segenap Jesuit untuk menimba kembali akar spiritualitas dan karisma pendiri mereka (Santo Ignatius) dan memberi applikasi mendalam terhadap penghayatan mereka atas Latihan Rohani ke dalam realitas pelayanan dan hidup mereka. Pedro Arrupe menyerukan kepada para Jesuit untuk memberi perhatian dan pelayanan lebih kepada kaum miskin dan juga soal keadilan sosial. Semuanya ini harus berakar dan berdasar pada “Faith that does Justice”. Kepada segenap anggota Serikat Yesus Pater Arrupe menyatakan bahwa komitmen Jesuit pada keadilan akan mempunyai konsekuensi yang serius dan tantangan yang berat. Pada era Arrupe inilah Jesuit Refugee Service (JRS) dibentuk sebagai sebuah aksi nyata atas krisis pengungsi yang melanda dunia.
Pengaruh dan juga karisma kepemimpinannya dirasakan juga oleh kelompok-kelompok religious lain dalam Gereja Katolik. Tulisan-tulisan dan ceramahnya sangat berbobot dan mendalam terutama seputar perjuangan keadilan dan iman, pembaharuan hidup religious, ekumenisme, inkulturasi, sekularisme, evangelisasi , katekese dan juga dalam dunia akademik dan pendampingan kaum muda. Sebagai Ilustrasi soal pengaruh Pedro Arrupe ini adalah dimuatnya foto dirinya menjadi cover page dan cover story TIME Magazine pada tahun 1973.
Namun demikian, perjuangan Arrupe terhadap keadilan seringkali dipersepsikan secara negative oleh sebagian pejabat Gereja, bahkan di kalangan Jesuit sendiri. Tuduhan-tuduhan seperti sosialis bahkan komunis sering dialamatkan kepada Pater Arrupe dan juga banyak Jesuit lainnya. Sebagai Superior, Pater Arrupe selalu dengan setia membela para Jesuit yang mendapat tuduhan macam-macam di berbagai tempat ketika memperjuangkan keadilan lewat karya mereka. Tak jarang posisi Arrupe ini sering disebut “berselisih” dengan Vatikan. Tentunya perjuangan Don Pedro soal keadilan perlu dilihat dalam konteks bahwa pada masa itu terjadi perang ideology (Perang Dingin) dan keterbukaan Arrupe terhadap Teologi Pembebasan misalnya dianggap oleh sebagian penasehat Paus sebagai hal yang membahayakan. Bukannya menjadi makin vocal atau “pamer pengaruh” dan kuasa, Pedro Arrupe mengirimkan ke seluruh komunitas-komunitas Jesuit foto dirinya ketika berlutut menghormati Paus Johanes Paulus II disertai tulisan: “Melayani Tuhan dan Gereja, MempelaiNya, di bawah Bapa Suci, Wakil Kristus di dunia”.
Ketika Don Pedro terserang stroke dan tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai superior general, beliau menunjuk Pater O’Keefe,wakilnya, untuk menjalankan pemerintahan Serikat Yesus sampai berlangsungnya Kongregasi Jendral untuk memilih superior general yang baru. Hal yang mengejutkan datang dari Vatikan: Paus menunjuk secara khusus Pater Paolo Dezza , seorang Jesuit yang menjadi konsultor di vatikan dan juga rector Universitas Gregoriana Roma, menjadi Utusan Kepausan untuk memimpin Serikat Yesus sampai dengan terpilihnya superior general yang baru. Ini adalah sebuah tamparan keras bagi Arrupe. Pater Kevin Burke, SJ dalam bukunya “Pedro Arrupe: Essential Writings” menyebutkan bahwa Arrupe sangat terpukul dengan keputusan Bapa Suci ini. Intervensi kuat dari Vatikan dalam pemerintahan Serikat Yesus seperti dilakukan Paus Johanes Paulus II adalah sesuatu yang di luar kebiasaan.
Kerendahan hati Don Pedro-lah yang menyebabkan dia mampu menerima keputusan Paus ini, dan beliau menginstruksikan kepada seluruh Jesuit untuk menerima keputusan Bapa Suci dengan penuh kesetiaan pada Gereja. Seruan ini mengejutkan mereka yang tidak suka dengan Pater Arrupe yang mengira bahwa Don Pedro akan “menentang” keputusan Paus yang di luar kebiasaan ini.
Don Pedro memang seorang Jesuit yang rendah hati dan sungguh-sungguh “manusia rohani”. Dalam sebuah kesempatan ketika masih aktif menjadi superior general, seorang wartawan italia mewawancarainya dan bertanya:
“Who is Jesus Christ for you?”
Mengira Don Pedro akan menjawab dengan jawaban klise seperti “Jesus Christ is my friend”, “Jesus Christ is my leader” dan sebagainya, Don Pedro dengan mengejutkan menjawab:
“For me, Jesus Christ is everything”
Jesus Christ is everything for Pedro Arrupe! Hanya dengan sikap iman dan kepercayaan inilah saya yakin Pater Arrupe bisa dengan setia menghayati ketaatannya pada Gereja dan Bapa Suci. Ketaatannya bukanlah melulu “menurut” atau “kalah” atau “menyerah” atau “tidak mau berkonflik” tetapi ketaatannya adalah sebuah tanda dan ekspresi terdalam dirinya bahwa Tuhan selalu menyertai dan berkarya pun dalam situasi yang sulit dan berat buat dirinya, dengan segala macam tuduhan dan perlakuan yang tidak enak. Pedro Arrupe meyakini bahwa Tuhan tetap bekerja pun bila segala keputusan yang dialami dalam hidupnya merupakan sesuatu yang tidak fair, tidak adil dan tidak logis.
Pedro Arrupe wafat pada tahun 1991 setelah berjuang dalam kesendirian akibat kelumpuhan otak yang menyebabkan dia tidak bisa berkomunikasi lagi. Dalam hari-hari menjelang wafatnya Paus Johanes Paulus II pun menjenguknya.
Tahun 2007 ini adalah genap 100 tahun Pater Pedro Arrupe. Semoga kerendahan hatinya dan penghayatan ketaatannya dapat menjadi cermin buat banyak Jesuit dewasa ini, tak terkecuali (atau bahkan khususnya) Jesuit di Indonesia.
For all Jesuits, Jesus Christ should be Everything…..
0 comments:
Posting Komentar