Selasa, 14 Agustus 2007

Cerita Seorang Jesuit Pengembara (1)

Pater Eddy Anthony adalah Jesuit Indonesia yang berkarya di daerah-daerah pedalaman dan juga di daerah misi. Bisa dikatakan beliau adalah seorang Jesuit Pengembara, siap pergi kemanapun beliau diutus. Bertemu dengan Romo Eddy selalu mengesankan sebuah kegembiraan dan keriangan hidup. Bertubuh tambun dan selalu penuh dengan banyak gurauan jenaka termasuk juga yang kadang-kadang tidak terlalu suci, Romo Eddy menghayati hidupnya sebagai Jesuit dengan kerendahan hati dalam pelayanan terhadap mereka yang kecil dan hidup di pedalaman. Beliau kenyang pengalaman dalam berpastoral di tanah papua selama belasan tahun, dengan segala tantangan dan kesulitan yang dialami. Seakan tidak kapok dengan tantangan tanah papua, beliau pun dengan siap sedia pergi diutus ke Yap Islands, sebuah pulau kecil di Pasifik, Micronesia untuk menjadi Pastor Paroki. Dengan kerendahan hatinya untuk belajar banyak hal termasuk kemampuan berbahasa inggris yang dulu menurutnya hanya dikuasai selevel dengan anak SMP, dan juga kemauan yang hebat untuk belajar soal komunikasi internet, Romo Eddy sekarang menjadi Pastor Paroki di Gagil, Yap Islands dan bergelut dengan akrab dengan pastoral umat disana dan sudah luwes dalam berbahasa inggris serta sedikit memahami bahasa lokal setempat. Dalam kesempatan ini beliau lewat beberapa seri tulisan akan membagikan kepada kita pengalaman pastoral dan hidupnya dalam perspektif Spiritualitas Ignasian dan juga kehidupan me-yesuit-nya. Selamat menikmati.
****

Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku

P. Eddy Anthony, SJ

Menolong jiwa-jiwa

Pada tahun 1985 Serikat Yesus Provinsi Indonesia mengutus anggotanya ke daerah transmigran asal Jawa dan Flores di keuskupan Sorong, Papua. Seorang imam dan satu bruder mulai berkarya diantara orang-orang yang tak memiliki tempat tinggal di daerah asalnya. Dua orang tenaga Jesuit tersebut mulai membangun rumah di tengah-tengah hunian para transmigran kurang lebih 45 km dari Sorong ke arah pedalaman.

Tujuh tahun sesudahnya, Serikat Yesus mulai mengembangkan karyanya bagi jiwa-jiwa yang terlantar ke daerah Manokwari dan sekitarnya. Serikat Yesus dengan semangat ignatiannya berkehendak menolong jiwa-jiwa, apalagi melihat kenyataan bahwa kaum transmigran semakin bertambah banyak dan kemudian mempertimbangkan untuk membuka karya baru di wilayah Prafi dan Kaimana, Papua.

Pater Provinsial menawarkan tugas panggilan dan perutusan ke Prafi dan Kaimana ini kepada saya. Sebagai seorang Jesuit muda, setelah enam tahun usia tahbisanku, saya menyanggupi tugas itu dengan sedikit khawatir dan takut membayangkan seperti apa daerah Papua itu. Dalam hati saya berpikir, untuk bisa menolong jiwa-jiwa orang yang saya layani, pertama-tama mempersiapkan kesediaan dan kebesaran jiwa untuk menerima tugas itu.

Siapakah mereka yang harus saya dampingi? Transmigran yang ingin membangun komunitas baru di tengah hutan belantara Papua. Rasanya berpindah dari tempat asal ke tempat yang baru di Papua bagi mereka tidak mudah. Apa yang bisa saya lakukan terhadap mereka? Memberi semangat mereka, jangan menyerah. Jiwa kita akan merasa, kering dan mati tak berdaya jika kita selalu menolak kenyataan yang harus kita hadapi. Teladan Ignatius dalam sejarah hidupnya, “membedakan antara konsolasi dan desolasi”, memberi inspirasi pada saya bagimana mendampingi para transmigran asal Jawa (Banyumas, Kediri, Wonosari) dan Flores (Maumere). Saya hanya bisa membantu mereka dengan menyadarkan bahwa kita perlu membangun relasi dengan orang yang berbudaya lain, kesatuan dan komunikasi diantara kita. Kita jangan hidup sendiri dan hanya memikirkan kebutuhan diri sendiri. Kita bersyukur kepadaNya bahwa kita sekarang punya tanah di lahan orang lain. Hendaklah kita saling menolong jiwa orang-orang yang dalam pejiarahan hidup ini. Demikianlah kiranya yang menjadi bahan refleksi bersama para transmigran setiap kali kami mengadakan pertemuan.

Pejiarahan

Para transmigran di tanah Papua agaknya lebih berhasil dari pada masyarakat asli Papua. Masyarakat Papua yang rata-rata masih sangat tertinggal dalam segala bidang, akhirnya menjadi semakin tak berdaya. Masyarakat Papua lama kelamaan menjadi penonton para transmigran. Sedangkan para transmigran dengan perjuangan yang tak kenal lelah, akhirnya memikat kaum kerabatnya di Jawa dan Flores, bahkan siapa saja yang memiliki modal, datang ke tanah Papua. Perkembangan kaum transmigran dan pendatang sangat cepat, mulai dari pendidikan, rumah sakit, kantor pemerintahan, supermarket, sampai para pedagang pasar tradisional semua dipegang transmigran dan pendatang. Perusahaan-perusahaan mulai masuk tanah Papua yang kaya akan sumber daya alamnya. Kekayaan alam tanah Papua tidak diimbangi dengan sumber daya manusianya. Masyarakat Papua asli menjadi terpinggirkan.

Serikat Yesus mulai mengadakan “deliberatio dan discretio spirituum”, mempertimbangkan dan melakukan konsultasi bersama, melihat kemungkinan kita berjiarah bersama masyarakat asli Papua. Perbincangan waktu itu, sekitar tahun 1996, terfokus pada dua hal, yaitu: mau melayani sobat-sobat masyarakat asli Papua dan/atau melayani semua orang yang tinggal di Papua. Option pada sobat-sobat asli Papua menjadi perhatian Serikat. Option ini dibawa ketingkat pembicaraan dengan Uskup di Keuskupan Jayapura.

Dengan sikap “kesepahaman dengan Gereja Lokal dan ikut berjiarah bersamanya” kita akhirnya menawarkan diri kepada Uskup untuk berkarya diantara suku Mee di Waghete, Kabupaten Paniai (waktu itu masih termasuk wilayah Kabupaten Nabire, sebelum pemekaran kabupaten)

(Bersambung)


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

0 comments: