Rabu, 22 Agustus 2007

Rumah Kecil: Cerita Seorang Jesuit Pengembara (6)

Dalam seri tulisan keenam dari tujuh tulisan ini, Pater Eddy berbagi kepada kita tentang perkenalannya dengan adat istiadat Yapese dan juga usahanya mencari jalan masuk kepada spiritualitas kristiani. Dalam ceritanya Pater Eddy sendiri menuturkan bagaimana beliau pun belajar dan berefleksi tentang hidup rohani dan hidupnya sebagai Jesuit ketika berkenalan dengan budaya Yap berikut nilai-nilai transenden dan suci yang dikandung di dalamnya.
****

Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku (bagian ke-6)

P. Eddy Anthony, SJ

Small house

Kalau kita bertemu orang Mee selama mereka masih berada di Papua pasti dengan mudah kita mengenalinya dari sebuah “noken” (sejenis tas keranjang terbuat dari kulit kayu) yang tergantung dibelakang kepala mereka.

Ketika saya bertanya, "mengapa kalian selalu membawanya dan dengan cara seperti itu?"

“Noken ini adalah jiwa kami, kami selalu membawanya dibelakang tubuh sebab kami tak mau menonjolkan harta kekayaan kami, jiwa kami”

Dan sekarang ini kalau saya menjumpai orang-orang Yapese, ada yang kurang lebih mirip dengan Mee untuk mengenalinya. Dimanapun dan kapanpun Yapese selalu menjinjing “wai” (keranjang terbuat dari daum kelapa, yang bentuknya hampir sama dengan tempat ayam sabung di Bali).

Jawaban orang Yapese agak berbeda : “This is my small house”.

Karena kebiasaan mengunyah pinang maka tak mengherankan bahwa ‘wai’ selalu berisi: daun sirih, pinang, kapur dan tembakau dan tentu saja ‘tempolong dubang’ (Jw: idu abang = air ludah warna merah setelah mengunyah pinang) dari kaleng bekas Coca-cola.

Yapese yang berasal dari Outer Islands atau pulau-pulau tetangga sekitar pulau Yap, jauh lebih mudah lagi untuk mengenalinya. Kaum wanita dengan rok bawahan terbuat dari tenun, dinamakan ‘lava-lava’ tanpa penutup bagian atasnya, sedangkan kaum pria banyak memakai kain ‘thuu’ warna biru atau putih atau hijau atau merah yang dililitkan pada bagian tubuhnya seperti gaya olahragawan ‘sumo’ di Jepang. ‘Wai’ bentuknya agak sedikit lain, yaitu tanpa jinjingan, melainkan ditaruh diantara ketiak (Jawa: dikempit). Bahasa dan temperamen sedikit berbeda dengan Yapese yang berasal dari main island. Mereka hidup rukun satu sama lain dan mereka saling memahami jika mereka berbicara dengan bahasa yang mereka gunakan.

Aku belum ada kesempatan untuk mengunjungi pulau-pulau tetangga. Baru sempat mengenal dua paroki dengan 9 gereja yang ada di main Island. Dari 9 gereja itu, Paroki St Mary terdiri dari 5 sedangkan St. Joseph ada 4 gereja, satu diantaranya harus menyeberang laut. Dalam jiwaku dan dalam ‘rumah kecil’ ku terkadang aku berteriak: mampukah aku menjalani tugas perutusanku ini, ataukah aku akan bangga dengan sebutan menjadi missionaris di tanah misi ini? Latihan Rohani (LR) St Ignatius masih tersimpan rapi dalam jiwa dan ‘rumah kecil’ku, aku tak kan menyerah, cuma yang aku butuhkan adalah ‘spiritual touch’ dari sahabat-sahabat se Serikat tentu juga dari luar serikat, teman-teman lamaku, baik berupa sapaan maupun dukungan dan peneguhan.

Terkadang aku mengalami dorongan yang sangat kuat untuk kembali ke tanah air, tetapi LR selalu mengingatkan : apabila waktu untuk melakukan pemilihan itu tidak dalam terang ilahi, maka jangan mengambil putusan apapun. Hendaklah kamu menambah waktu doamu agar engkau dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendakNya. Dan bila engkau mengambil putusan dalam keadaan jiwa dan ‘rumah kecil’mu tidak teratur, maka barangtentu putusanmu juga tak teratur. Doaku bukan agar aku bisa bertahan di pulau Yap, melainkan agar apa yang aku lakukan sungguh berkenan kepadaNya, mampu melayani umat di sana, dengan semboyan AMDG (Ad Maiorem Dei Gloriam)

Stone money

Kalau anda mau melihat seperti apa stone money, anda bisa memperhatikan gambar pastoran, terlihat ada satu dengan ukuran relative kecil, di depan pastoran. Yap Island dikenal juga dengan Stone Money island. Jenis batu untuk stone money ini jarang ditemui di Yap, maka menurut kata orang-orang tua, mereka mendatangkan batu-batu tersebut dari Palau (pulau disebelah barat Yap ke arah Philippines) dengan perahu layar.

Nah, anda masih ingat suku Mee di Waghete? Sekitar lima belas tahun yang lalu ketika aku berada di sana, mereka suka sekali mengumpulkan uang logam. Uang logam dipahami sebagai uang yang tak mudah rusak, abadi bagaikan jiwa ini. Mereka ‘membayar’ misa (maksudnya tentu saja memasukan derma untuk gereja) bagi jiwa orang yang meninggal dengan uang logam agar jiwa mereka tetap abadi di sorga.

Bagaimana dengan stone money di Yap? Ada nilai ‘keabadian’ tersirat dalam keyakinan hidup mereka. Siapakah ‘yang abadi’ itu? Apakah itu ‘allah’ atau ‘tradisi’ atau ‘sesuatu yang memiliki kekuatan gaib’. Stone money ada di rumah-rumah mereka, dijalan, dikebun, juga dirumah laki-laki (men’s house) atau rumah perempuan (women’s house). Saya masih akan mengenal apa makna stone money bagi Yapese. Tetapi kita sudah bisa membayangkan bagaimana relasi antara pria dan wanita dan bagaimana tradisi yang sangat kuat mendasari hidup mereka.

Sebagai pastor paroki, aku hanya bisa mengingatkan bahwa nenek moyang kita orang-orang Yapese adalah suku bangsa yang tangguh sekokoh stone money, bertahan dalam badai dan ombak, mengenal keabadian jiwa dan roh – artinya hidup abadi. Oleh sebab itu hadapilah segala macam tantangan hidup dengan ketegaran jiwa dan semangat berjuang untuk melawan kegelapan jiwa kita.

Hanya sejauh inilah saya mengenal makna stone money. Mengherankan bagiku bahwa, tak ada seorangpun mencuri stone money karena setiap orang di desa tertentu tahu siapa pemiliknya. Jika ada man’s house dibangun baru maka ada beberapa orang membawa stone money dan meletakannya diseputar rumah tersebut. Semakin banyak stone money di rumah itu berarti rumah itu tergolong ‘mahal’. Mahal artinya semakin ‘keramat dan kudus’, dan menurut pengamatan saya rumah tersebut menjadi symbol kekuatan dari status sebuah desa. Bayangkan di desa kecil Gachpar, bagian dari ‘kelurahan’ Gagil, tempat aku berada terdapat 3 man’s house.

Kesimpulanku: dalam ‘rumah’ batin yang teratur rapi, tersimpan ‘jiwa’ yang kokoh dan magis. Itulah Yapese. Mulai dari sanalah aku hidup bersama orang-orang Yapese di Yap Islands, sejauh aku mampu melayani dengan perspektif ignatian.

(Bersambung)


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

0 comments: