****Dalam seri tulisan keenam dari tujuh tulisan ini, Pater Eddy berbagi kepada kita tentang perkenalannya dengan adat istiadat Yapese dan juga usahanya mencari jalan masuk kepada spiritualitas kristiani. Dalam ceritanya Pater Eddy sendiri menuturkan bagaimana beliau pun belajar dan berefleksi tentang hidup rohani dan hidupnya sebagai Jesuit ketika berkenalan dengan budaya Yap berikut nilai-nilai transenden dan suci yang dikandung di dalamnya.
Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku (bagian ke-6)
P. Eddy Anthony, SJ
Small house
Kalau kita bertemu orang Mee selama mereka masih berada di Papua pasti dengan mudah kita mengenalinya dari sebuah “noken” (sejenis tas keranjang terbuat dari kulit kayu) yang tergantung dibelakang kepala mereka.
Ketika saya bertanya, "mengapa kalian selalu membawanya dan dengan cara seperti itu?"
“Noken ini adalah jiwa kami, kami selalu membawanya dibelakang tubuh sebab kami tak mau menonjolkan harta kekayaan kami, jiwa kami”
Dan sekarang ini kalau saya menjumpai orang-orang Yapese, ada yang kurang lebih mirip dengan Mee untuk mengenalinya. Dimanapun dan kapanpun Yapese selalu menjinjing “wai” (keranjang terbuat dari daum kelapa, yang bentuknya hampir sama dengan tempat ayam sabung di Bali).
Jawaban orang Yapese agak berbeda : “This is my small house”.
Karena kebiasaan mengunyah pinang maka tak mengherankan bahwa ‘wai’ selalu berisi: daun sirih, pinang, kapur dan tembakau dan tentu saja ‘tempolong dubang’ (Jw: idu abang = air ludah warna merah setelah mengunyah pinang) dari kaleng bekas Coca-cola.
Yapese yang berasal dari
Aku belum ada kesempatan untuk mengunjungi pulau-pulau tetangga. Baru sempat mengenal dua paroki dengan 9 gereja yang ada di main
Terkadang aku mengalami dorongan yang sangat kuat untuk kembali ke tanah air, tetapi LR selalu mengingatkan : apabila waktu untuk melakukan pemilihan itu tidak dalam terang ilahi, maka jangan mengambil putusan apapun. Hendaklah kamu menambah waktu doamu agar engkau dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendakNya. Dan bila engkau mengambil putusan dalam keadaan jiwa dan ‘rumah kecil’mu tidak teratur, maka barangtentu putusanmu juga tak teratur. Doaku bukan agar aku bisa bertahan di pulau Yap, melainkan agar apa yang aku lakukan sungguh berkenan kepadaNya, mampu melayani umat di
Stone money
Kalau anda mau melihat seperti apa stone money, anda bisa memperhatikan gambar pastoran, terlihat ada satu dengan ukuran relative kecil, di depan pastoran.
Nah, anda masih ingat suku Mee di Waghete? Sekitar
Bagaimana dengan stone money di Yap?
Sebagai pastor paroki, aku hanya bisa mengingatkan bahwa nenek moyang kita orang-orang Yapese adalah suku bangsa yang tangguh sekokoh stone money, bertahan dalam badai dan ombak, mengenal keabadian jiwa dan roh – artinya hidup abadi. Oleh sebab itu hadapilah segala macam tantangan hidup dengan ketegaran jiwa dan semangat berjuang untuk melawan kegelapan jiwa kita.
Hanya sejauh inilah saya mengenal makna stone money. Mengherankan bagiku bahwa, tak ada seorangpun mencuri stone money karena setiap orang di desa tertentu tahu siapa pemiliknya. Jika ada man’s house dibangun baru maka ada beberapa orang membawa stone money dan meletakannya diseputar rumah tersebut. Semakin banyak stone money di rumah itu berarti rumah itu tergolong ‘mahal’. Mahal artinya semakin ‘keramat dan kudus’, dan menurut pengamatan saya rumah tersebut menjadi symbol kekuatan dari status sebuah desa. Bayangkan di desa kecil Gachpar, bagian dari ‘kelurahan’ Gagil, tempat aku berada terdapat 3 man’s house.
Kesimpulanku: dalam ‘rumah’ batin yang teratur rapi, tersimpan ‘jiwa’ yang kokoh dan magis. Itulah Yapese. Mulai dari sanalah aku hidup bersama orang-orang Yapese di Yap
(Bersambung)
0 comments:
Posting Komentar