Rabu, 15 Agustus 2007

Cerita Seorang Jesuit Pengembara (2)

Dalam seri tulisan berikut ini Pater Eddy melanjutkan ceritanya sebagai "Jesuit Pengembara" alias Misionaris Jesuit di tanah Papua. Pater Eddy menceritakan jatuh bangunnya untuk memahami tugas panggilan melayani orang-orang sederhana, di tanah yang jauh, jauh dari kampung halaman, jauh dari sanak saudara, jauh dari keramaian dan juga fasilitas hidup lainnya, ketika kesepian dan kesendirian sering menyerang. Banyak duka dan tantangan, tetapi Pater Eddy sendiri menyadari bahwa kedekatannya pada Tuhan dan kecintaannya pada panggilan hidup sebagai Jesuit dan Imam membuatnya dengan tulus dan rendah hati melayani orang-orang di pedalaman Papua. Hari demi hari, pelayanan para Jesuit di tanah Papua pun makin berkembang mengangkat harkat hidup dan budaya setempat. Kisah Pater Eddy ini tentunya bisa memberi inspirasi bagi kita, dan memberi insight bagaiman spiritualitas ignasian bisa memberi arti mendalam pada hidup dan pelayanan kita pada sesama. Selamat membaca dan menikmati.
****

Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku (bagian ke-2)

P. Eddy Anthony, SJ

Penampakan

Dalam setiap pejiarahan St Ignatius, Allah selalu mendampingi dengan penampakan diriNya dan berbicara bersama dalam suasana doa meditasi dan kontemplasi Ignatius. Inilah yang terjadi pada karya Serikat Yesus di Papua. Serikat Yesus menjadi sadar akan keberadaan masyarakat asli suku Mee atau Ekari di wilayah pedalaman Paniai.

Bulan Juli 1996 pembesar Serikat mengutus saya berangkat ketengah-tengah suku Mee (Mee dalam bahasa setempat artinya ‘manusia sejati’) atau orang dari suku lain menyebut mereka suku Ekari (artinya ‘pergi dari sini’ – sebagai salah satu suku yang kalah perang) Mereka tinggal di wilayah sekitar danau Tigi (Tigi artinya ‘berkumpul’) karena tanah disekitar danau itu adalah tanah yang subur dimana mereka mendapatkan makanannya, dari ikan danau dan ubi-ubian (‘nota’, bhs Jawa: ketela).

Pedalaman dengan ketinggian sekitar 2000 meter di atas permukaan laut, dengan suhu paling rendah 8 derajat Celsius, dihuni oleh sekitar 9000-an umat katolik suku Mee, mendorong saya untuk semakin solider dengan masyarakat asli Papua sebagai option karya Serikat Yesus. Karya serikat ini tidak cukup hanya merasa solider dengan orang-orang sederhana dan tertinggal dalam persaingan dengan suku lain di luar Papua, melainkan bagaimana sungguh mencintai mereka dan untuk ikut bersama mereka dalam menanggapi rencana keselamatan Allah. RencanaNya adalah membebaskan mereka dari proses marginalisasi terhadap suku Mee. Bagaimana mungkin mereka bisa bangkit kalau tidak ada orang yang berani berkorban untuk mereka, dalam arti rela menanggung segala resiko dan merasakan suka dan duka bersama mereka.

Pater Eddy Anthony, SJ bersama putri-putri altar di Yap Islands (photo: P. Eddy Anthony, SJ)

Saya selalu bertanya dalam hati “mengapa harus aku dan mengapa tidak” untuk menerima tugas perutusanku ini. Bagi St. Ignatius pun, saya rasa amatlah sulit mengartikan dan menafsirkan apa kehendak Bapa bagi dirinya melalui putraNya Jesus Kristus. Mengapa serikat mengutus aku kesana? Dalam bulan-bulan pertama saya mengalami tekanan batin, antara percaya dan tidak percaya. Bayangkan saja, bulan pertama saya merayakan 17 Agustus di pedalaman tidak terlihat satu bendera merah putih berkibar. Saya sungguh heran, apakah mereka bukan salah satu bagian dari negara RI? Kalau bukan, ya memang benar bukan bagian dari pemerintah Indonesia, lho mengapa? Ya lihat saja apakah pemerintah serius memikirkan nasib mereka? Tidak ada transpotasi, tidak ada listrik, tidak ada televisi, tidak ada telpon, tidak ada sekolah dan guru serta sarana pendidikan yang lainnya, tidak ada bantuan makanan dan alat-alat untuk pencaharian mereka. Dalam benak saya berkata, untunglah bahwa mereka ‘puas dan mau menerima’ kebiasaan hidup mereka, seperti tak perlu pakaian cukup, satu untuk selamanya sampai robek-robek pun masih melekat dibadan mereka. Masih banyak diantara mereka cukup hanya dengan ber-koteka (kulit buah berbentuk panjang bulat untuk menutup penis bagi laki2) dan moge (rok untuk wanita yg terbuat dari kulit kayu).

Salah satu teman saya tidak bisa bertahan menerima kenyataan itu, tidak bisa menikmati artinya kesepian dan kesunyian dalam kesendirian dengan fasilitas hidup yang serba berkekurangan. Akhirnya dia minta kembali ke Jawa. Dengan demikian selama lebih setahun saya dengan terpaksa diutus sendirian di Waghete ini. Barangkali karena besarnya tantangan ditempat itu, para Jesuit muda tidak ada yang sanggup diutus kesana. Meski dalam hati kecil saya berkata : disanalah tempatku, Dia memanggil dan menampakkan diriNya diantara suku Mee, tak ada tempat lain bagiku selain di Waghete. Bukan karena saya ingin dipuji sebagai jesuit pioneer orang pertama di pedalaman, melainkan inilah hidup sebagai Jesuit dan inilah kehidupan.

Berlayar Ke Timur

Dua tahun sesudah option “melayani sobat-sobat asli Papua” Serikat Yesus Provinsi Indonesia mengadakan forum provinsi yang dihadiri oleh seluruh anggota antara lain dengan topic ‘berlayar ke timur’. Pada waktu itu saya melontarkan gagasan bahwa karya di pedalaman sekitar danau Tigi harus mendapat dukungan dari tempat lain dengan maksud membantu pengadaan sarana kerasulan. Saya mengusulkan agar kita mengambil wilayah Nabire sebagai tempat yang strategis dan sebagai pintu masuk untuk kesemua wilayah pedalaman.

Pada tahun 1998 mulailah beberapa Jesuit diutus ke Nabire untuk menangani karya paroki. Dari karya paroki kita mulai secara serius menjadi sobat-sobat orang Papua. Pengembangan karya dibidang pendidikan mulai kita rintis dengan keterlibatan kita di sekolah SMA Adi Luhur.

Dalam analisa saya pribadi, suku Mee di Waghete harus ditampilkan dalam berbagai macam mass media baik cetak maupun elektronik. Hanya dengan cara itulah maka dunia luar akan mengenal dan menaruh perhatian pada mereka. Ignatius berkata: “masuklah melalui pintu mereka (setiap orang yang kita layani) dan keluar melalui pintu kita” Kita harus mulai dari apa yang mereka miliki. Budaya, tradisi, bahasa dan adat istiadat secara perlahan harus kita kenali dan kita angkat menjadi harta mereka dan kekuatan untuk maju dan berkembang.

Kapel Kolese Le Cocq d'Armandville di SMA Adi Luhur, Nabire (photo: www.provindo.org)

Serikat Yesus rupanya kurang puas hanya dengan tinggal bersama dengan masyarakat asli Papua. Bidang pendidikan menjadi keprihatinan utama. Maka saya mencoba mencari relevansi budaya dan tradisi suku Mee dalam bidang pendidikan. Dengan demikian ‘berlayar ke timur’ berarti harus bergerak kesatu tujuan membawa sesuatu untuk sobat Papua? Apakah sobat-sobat kita itu sanggup menerima dan memahami usaha kita? Tidak semua bisa. Oleh sebab itu kita harus berangkat dari apa yang ada pada sobat-sobat itu sendiri. Tradisi, budaya, cara hidup seperti apapun bentuknya, itulah yang mereka miliki, kita tetap menghormatinya dan mengangkatnya menjadi modal untuk maju.

Dengan adanya perang suku yang masih sering terjadi diantara suku Mee, saya selalu mengingatkan mereka bahwa jangan sampai kita saling menindas diantara kita dengan budaya dan kebiasaan kita, melainkan menggunakan budaya dan akal budi kita guna meningkatkan kemampuan kita menghadapi tantangan jaman. Konfrontasi diantara sesama bukan cara penyelesaian yang baik.

(Bersambung …)


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

0 comments: