Jumat, 24 Agustus 2007

Budaya dan Pastoral: Cerita Seorang Jesuit Pengembara (7-Habis)

Seri terakhir dari "Cerita Seorang Jesuit Pengembara" akhirnya sampai pada seri pamungkasnya. Di sini Pater Eddy membagikan kepada kita bahwa nilai-nilai kristiani dan keutamaan injili itu bagaimanapun harus diwartakan lewat ciri khas dan ekspresi budaya setempat. Sikap pastoral ini tentunya hanya mungkin terjadi bila dilandasi sikap untuk mau memahami dan mendengarkan serta mau belajar dan berdialog dengan orang-orang setempat. Di sini kita bisa belajar dari Pater Eddy yang dengan penuh perhatian hadir dan belajar dari orang-orang Yapese. Membaca kisahnya, kita selayaknya bersyukur atas rahmat karya dan karisma misioner yang dianugerahkan Tuhan kepada Pater Eddy. Tentunya dukungan dan sapaan anda kepada Pater Eddy sungguh menjadi kebahagiaan tersendiri buat beliau. Di akhir seri ini, jangan sungkan-sungkan bila anda mau memberi komentar, dukungan dan doa-doa kepada beliau. Silakan tinggalkan komentar, isi buku tamu atau berkirim email secara pribadi kepada beliau.

****
Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku (bagian ke-7-Habis)

P. Eddy Anthony, SJ

Tari tradisional

Berpastoral dengan memahami makna terdalam dari sebuah tarian yang biasa mereka tampilkan dalam upacara-upacara adat, sungguh menarik perhatianku. Mengapa? Tarian mereka mengingatkan saya ketika berada di tengah suku Mee. Tarian suku Mee menggerakkan koteka, sedangkan Yapese menggoyangkan pantat maju mundur dalam posisi berdiri berkali-kali dan diakhiri dengan teriakan keras secara bersama-sama. Ini tarian “berdiri” yang diperankan hanya oleh kaum laki-laki. Sedangkan untuk women’s dance, bagiku yang menarik adalah kesamaan antara suku Mee dan Yapese yaitu dengan menampilkan buah dada tanpa penutup apapun.

Aku selalu mengajak mereka untuk merenungkan arti dan makna tarian itu. Pertama-tama selain menampilkan keindahan juga terkait dengan kehidupan manusia dalam relasinya dengan Tuhan dan sesama. Nilai kebersamaan, kesatuan, dan kesamaan derajat, ‘ketelanjangan’, kedisiplinan dalam setiap gerak, ketepatan kata dan lagu (tanpa alat musik) adalah nilai-nilai kehidupan yang harus mereka kembangkan. Kedua, bagaimana gerak dan lagu dalam tarian itu dapat terintegrasikan dalam hidup mereka sehari-hari. Bukan hanya sekedar agar penampilannya bagus dan indah, melainkan lebih dalam daripada itu, yaitu mau bekerja sama, kita tak bisa hidup sendiri-sendiri dan dibedakan dengan kelas-kelas sosial yang sering menghambat dalam hidup menggereja. Yang ketiga, adalah sedikit demi sedikit saya menanamkan pandangan teologi tentang Gereja. Gereja Katolik adalah Gereja kita bersama, terbuka untuk siapa saja, jalan menuju padaNya. Keistimewaan tarian Yapese adalah biarpun usia masih balita namun boleh ikut dalam tarian bersama dengan orang-orang dewasa.

Tarian dengan pakaian tradisional yang didominasi oleh asesori daun-daunan dan bunga beraneka warna menunjukkan identitas diri mereka yang masih sangat natural. Polesan-polesan warna-warni ditubuh mereka bukan dari produk pabrik, melainkan mereka sangat mahir dalam mencampur warna-warna dari bunga dan buah-buahan yang tumbuh di pulau Yap. Pakaian tenun yang mereka pakai mengindikasikan bahwa mereka adalah orang-orang yang tekun dan ulet. Identitas Yapese inilah yang terus menerus saya tanamkan kepada mereka meski mereka sendiri kurang menyadarinya.

Kekuatan sebuah tarian terletak pada lagu dan gerak yang mereka bawakan. Saya dapati kesamaan pada suku Mee dan Yapese bahwa suara mulut yang mengalunkan sebuah lagu tanpa iringan musik adalah ‘kekuatan dan kekayaan’ mereka. Ada semacam obsesi bagi kedua suku bangsa ini. Mee pandai berbicara dalam perkara adat sedangkan Yapese tak pernah berhenti mengunyah pinang meski tak mengeluarkan suara. Jangan khawatir kalau lagi rapat bersama orang Mee selalu ada suasana ribut, karena masing-masing ingin bicara. Jangan heran jika selagi kita berbicara dengan Yapese mereka meludah di depan kita. Hal ini tentu bagi orang Jawa tak sopan, bukan?

Aku tak ingin membandingkan terlalu jauh dari segi antropologi dan budaya kedua suku bangsa ini, namun yang penting bagiku tugas perutusanku di kedua tempat ini sangat terbantu dengan mendalami apa yang mereka miliki, baik seni budayanya maupun komunitasnya dengan keunikan cara hidup mereka masing-masing. Bagi saya untuk bisa masuk kedalam komunitas mereka dan tinggal diantara mereka adalah bersikap seperti mereka perbuat. Pada langkah awal ini amatlah sulit dan perlu kesabaran dan perjuangan tersendiri.

Bukankah St Ignatius memberi bekal dalam Latihan Rohani agar menggunakan daya indera kita untuk menanggapi sapaan Allah dan tanda-tanda jaman? Dalam setiap tugas kerasulan mestinya bagi seorang Jesuit adalah kepekaan kita menangkap apa kehendak Allah dalam dunia dan dalam diriku.

Akhir kata

Aku sungguh bersyukur dan berterima kasih kepada Serikat Jesus yang telah memberikan kesempatan pada diriku untuk menemukan diriku yang hina ini meski senantiasa terus menerus harus di ‘daur ulang’ dengan sebutan ‘komugaibii’ (‘bii’ adalah akhiran untuk menyebut nama seseorang). Ongoing formation (pembinaan hidup yang berkelanjutan) bagiku sampai pada akhir waktuku di muka bumi ini.

Semoga pengalaman-pengalaman bersama seluruh sobatku di komunitas Serikat Jesus maupun sobat-sobat para simpatisan Serikat Jesus, berguna bagi perkembangan hidupku. Aku tak tahu apakah berguna bagi Anda yang sempat membuka website ini? Meski aku tak punya komunitas yang bisa kuajak untuk sharing, berbagi rasa dan karsa, namun Anda semua yang membantuku dalam tugas perutusanku di tempat ini adalah komunitasku. Hanya dengan kesatuan budi dan hati, meski tak hidup bersama dalam satu tempat yang sama, Anda semua yang sempat mengikuti ‘pengembaraanku’ adalah penopang hidupku.

Suasana di satu sudut Desa Gagil di Yap Islands yang sepi
Pesan Romo Eddy: Jangan membayangkan Yap itu seperti San Fransisco,
jangan pernah ada yang mau diutus ke Gagil kalau tidak siap menerima kesepian.

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Fr. Augustinus Widyaputranto, SJ yang dengan bakat-bakat dan ilmunya telah membantuku untuk menjadikan aku semakin jadi manusia yang layak diterima sebagai makluk ‘internasional’. Barangkali dialah satu-satunya kawan dalam Serikat Yesus yang menaruh perhatian besar padaku saat aku harus berjuang menghadapi kesulitan berbahasa dan berkomunitas, terlebih lagi pertolongannya dalam teknologi perkomputeran. Juga dalam segi-segi afeksi yang sangat saya butuhkan, siapakah yang bisa meringankan beban ini kalau bukan dari para sobat dan kawanku?

Pengalaman yang cuma sepernapasan ini tidaklah berarti sama sekali dibandingkan tulisan tokoh-tokoh besar dalam serikat tercinta ini. Maka apabila ada kesalahan dan penafsiran yang keliru dalam berpastoral dan dalam tutur kata, mohon dimaklumi.

Kamagar.

Pater Albertus Eddy Anthony, SJ
St Joseph Church,
PO Box A, Colonia, YAP, FM 96943
Federated States of Micronesia
Telephone: +691 350 2598
HP: +691 950 4699
eddyanthony@gmail.com


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

0 comments: