Kamis, 30 Agustus 2007

Mazmur dan Doa Ignasian

Kitab Mazmur bagi sebagian umat katolik di tanah air bisa jadi kurang menarik dan tidak mendapat perhatian khusus dalam kaitannya dengan pembangunan hidup rohani. Kurang menariknya mazmur ini mungkin saja dipengaruhi oleh realitas bahwa selama perayaan ekaristi seringkali Mazmur hanya dipandang sebagai "selingan" di antar bacaan, dengan lagu yang aneh dan kata-kata yang sulit dimengerti sehingga jauh dari kesan inspiratif apalagi menyegarkan jiwa.

Seringkali di tengah rasa kantuk yang menyerang umat di saat ekaristi, atau di tengah bacaan yang panjang, tiba-tiba ada seorang solis maju ke depan altar dan menyanyikan "mazmur antar bacaan" yang kadang dengan suara atau artikulasi yang tidak begitu jelas, malah kadang gugup dan justru mengundang komentar atau rasa jengkel dari sebagian umat. Posisinya sebagai "antar bacaan" pun kadang tidak mendapat perhatian penuh dari umat karena hanya seolah-olah sebagai "selingan" atau intermezzo belaka. Di sisi lain, lagu-lagu mazmur terkesan "seragam" dan monoton: dengan bait pengulangan dan pendarasan ayat yang bernada.

Dengan latar belakang yang demikian, tidaklah mengherankan bila Mazmur seperti "kehilangan taring" dan sebagian umat menjadi kurang akrab dengan kitab mazmur dan tidak bisa memetik inspirasi terdalam yang ada pada 150 bab yang ada, yang penuh dengan puisi-puisi dan ekspresi kecintaan dan relasi dengan Tuhan sendiri.

Bagi mereka yang membangun hidup rohani, membaca mazmur merupakan salah satu sumber inspirasi yang tidak pernah habis ketika kita mau berkaca tentang siapa Tuhan dalam hidup kita, dan juga tentang kebaikan dan kasih Tuhan sendiri, ataupun juga tentang diri kita dalam relasinya dengan Tuhan, termasuk kedosaan dan ketidaksetiaan kita. Ungkapan-ungkapan yang ada dalam mazmur seringkali sungguh memberi inspirasi yang mendalam apabila kita membaca dan merenungkannya dengan setia. Itu sebabnya, dalam ibadat harian Gereja Katolik, mendaraskan/membaca mazmur merupakan bagian penting.

Mazmur sungguh kaya akan inspirasi dan ekspresi dalam kaitannya dengan hidup beriman. Dalam tradisi Latihan Rohani St. Ignatius, membaca mazmur sangatlah dianjurkan. Bermeditasi lewat mazmur, merasa-rasakan kekuatan ekspresi kata-kata dalam mazmur bisa membantu kita untuk mengalami dan memahami kebaikan Tuhan sendiri dalam hidup kita. Dalam retret Ignasian, biasanya pembimbing rohani/retret selalu memberikan anjuran bagi peserta retret untuk membaca mazmur sebagai bahan doa ataupun sebagai bacaan harian.

Dengan membaca mazmur dan menyelami ungkapan-ungkapan terdalamnya diharapkan kita bisa bertemu Tuhan dan membatinkan cinta Allah sendiri. Kata-kata dalam mazmur memiliki kekuatan yang seolah mau "menawan" hati kita kepada Tuhan. Tentunya hal ini bisa dialami bila kita membaca dan merenungkannya dalam doa, dengan sikap doa dan mencecap-cecap maknanya dengan setia.

Cara mudah untuk memahami mazmur adalah dengan berdoa lewat lagu-lagu yang diciptakan berdasarkan ayat-ayat dalam mazmur. Berikut ini saya sajikan kepada anda satu lagu/video clip yang mengambil inspirasi dari Mazmur 92. Silakan anda nikmati video di bawah ini dan alami betapa kata-kata dalam mazmur begitu inspiratif dalam kaitan hidup rohani dan relasi kita dengan Tuhan.




Bila anda mau membangun hidup rohani, mungkin bisa mencoba untuk akrab dan membaca mazmur setiap hari. Tidak perlu terlalu panjang, dan mungkin bisa diambil seturut bacaan harian yang bisa dilihat dalam kalendarium liturgi. Selamat mencoba


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Rabu, 29 Agustus 2007

Inter Nos (29/08/07)

Selama hampir sebulan www.ignatiusloyola.net ini hadir di tengah-tengah anda, paling tidak sudah sudah ada 4 hal penting yang bisa digali bersama berkaitan dengan Spiritualitas Ignasian. Keempat hal tersebut adalah apa itu Spiritualitas Ignasian berikut karakteristiknya dan konteksnya di jaman ini, doa examen/pemeriksaan batin, doa meditasi dan doa kontemplasi. Keempat hal ini merupakan hal yang sangat esensial dan mendasar bila seseorang mau menyelami spiritualitas Ignasian.

Bisa dikatakan bahwa pemahaman dan latihan akan metode-metode doa dalam tradisi Ignasian adalah kunci untuk membuka pengalaman dalam Latihan Rohani Santo Ignatius. Ketika orang memahami apa itu Spiritualitas Ignasian berikut karakteristiknya, maka metode-metode doa yang sudah dipaparkan bagaikan "kata sandi" untuk masuk ke dalam pengalaman-pengalaman rohani tersebut secara lebih intens.

Perjalanan untuk mengalami Latihan Rohani tidak akan bisa dilepaskan dari keempat hal ini. Oleh sebab itu penting sekali bila metode-metode doa yang sudah dipaparkan disini anda latihkan pelan-pelan dalam hidup doa anda. Hal yang bisa secara mendasar anda lakukan adalah doa pemeriksaan batin. Jadikanlah doa ini menjadi habitus dalam hidup harian anda paling tidak 2x dalam sehari (sesudah/sebelum makan siang dan sebelum tidur). Pengalaman dalam doa pemeriksaan batin akan memberi pondasi kuat dalam hidup rohani anda.

Bila anda mau mengalami Latihan Doa Ignasian secara lebih terbimbing dan point-point yang sudah dipersiapkan, anda bisa melakukannya dengan buku "Tahan Uji - 9 Latihan Ignasian" yang diterbitkan oleh Penerbit Kanisius Yogyakarta. Tentunya buku ini hanya bisa dipergunakan bila anda siap dan bersedia berlatih berdoa kontemplasi dan meditasi. Buku ini baik untuk pemula, karena sudah disediakan point-point terbimbing secara tertulis dalam melakukan doa-doa. Bagi mereka yang kesulitan mendapat bukunya, tentunya bisa mengikuti Latihan Doa disini lewat bahan-bahan yang ditawarkan.

Selain keempat hal ini, disajikan pula profil seorang Jesuit yaitu Romo Eddy Anthony, SJ. Diharapkan ini bisa memberi perkenalan secara lebih dekat tentang hidup seorang Jesuit. Kisah Jesuit lainnya diharapkan akan segera menyusul di sini. Tentunya akan disajikan juga profil-profil karya Jesuit.

Terima kasih untuk segala saran yang dikirimkan kepada kami. Tentunya saran dan feedback dari anda selalu terus kami nantikan.

Terima Kasih.



Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Berdoa Kontemplasi Ignasian

Beberapa orang yang belajar berdoa kontemplasi Ignasian untuk pertama kalinya biasanya selalu "mengeluh" bahwa mereka sulit untuk memahami bahwa mereka bisa berdoa lewat bantuan imaginasi mereka. Terkadang beberapa dari mereka meragukan bahwa cara berdoa dengan membayangkan peristiwa kitab suci adalah benar-benar suatu bentuk doa. Bagaimana mungkin berimaginasi adalah bentuk doa? begitu biasanya keluhan yang terdengar.

Keluhan ini tentunya tidak perlu dipermasalahkan secara lebih jauh mengingat konteks kontemplasi selalu dilakukan dalam suasana doa, dan merupakan sebuah aktivitas doa, yaitu sebuah komunikasi dengan Tuhan sendiri. Hal yang patut diingat adalah bahwa Tuhan bisa bekerja lewat imaginasi kita dan mengarahkan diri kita untuk lebih dekat kepadaNya lewat seluruh aktivitas budi dan inderawi kita. Berkontemplasi dalam tradisi Ignasian bukanlah soal melihat kejadian dalam kitab suci secara faktual tetapi lebih pada kehendak untuk mau menyelami peristiwa tersebut secara afektif dan personal serta mau lebih dekat menyelami hati Yesus sendiri.

Berkaitan dengan hal ini, patutlah bila kita menyimak penjelasan Pater Hugo Rahner, SJ dan Pater William Barry, SJ :

"... the aim of this mode of prayer is to make the events of salvation 'present' in the mind, and thus to attain that direct experience of love." (Rahner, Ignatius the Theologian; NY1968, p.191)


Ignatius expects that God will elicit the desires that are most for our good if we open ourselves and our hearts to God's tutelage and if we ask God to give us these desires.... If we have this desire (to be with Jesus), God must want us to have it, and for our good. (Barry, Finding God in All Things, 1991p.79)

Di sini, kita bisa melihat bahwa membuka hati dan budi kepada Tuhan dan mau bertemu denganNya merupakan sebuah hal yang penting untuk hadir dalam doa kontemplasi. Lewat kontemplasi kita mau menghadirkan peristiwa keselamatan dalam terang imaginasi kita dan dengan demikian kita bisa menyelami peristiwa cinta tersebut secara lebih intens dan personal. Ini berarti juga bahwa persiapan doa (mempersiapkan bahan kontemplasi, doa persiapan dan langkah-langkah doa) menjadi amat vital.

Beberapa langkah berdoa kontemplasi Ignasian pada permulaannya sama dengan berdoa meditasi. Biasanya kesamaan langkah ini merupakan sesuatu yang umum sekaligus esensial dalam praktek doa-doa Ignasian. Sebagai pedoman pokok, anda bisa mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menenangkan diri. Sadarilah anda berada di hadapan Tuhan dan mau bertemu secara personal denganNya. Posisi tubuh anda bisa duduk di atas kursi, duduk bersila atau berlutut, sejauh anda merasa nyaman dan masih dalam sikap hormat pada Tuhan sendiri.

2. Ucapkanlah doa pendahuluan. Doa ini bisa merupakan sebuah "sapaan" kepada Tuhan, sebuah ungkapan ketulusan untuk mau datang di hadapanNya.

3. Setelah doa pendahuluan, bacalah pelan-pelan perikop kitab suci yang akan menjadi bahan meditasi anda. Hendaknya perikop ini sudah disiapkan dan dibaca berkali-kali sebelum melakukan doa formal. Ini artinya bahan doa harus dipersiapkan lebih dulu. Setelah membacanya, hadirkanlah diri anda dalam peristiwa perikop yang anda baca. Setelah membacanya, hadirkanlah diri anda dalam peristiwa perikop yang anda baca. Lihatlah situasi dan hadirkan imaginasi tentang tempat dan person dalam perikop ke dalam imaginasi/budi anda. Sebagai contoh, bahan doanya misalnya Kisah Bartimeus (Markus 10:46-52). Bayangkanlah suasana kejadian perikop tersebut secara lebih detail: rumah-rumahnya, suasana jalan. Hadirkan pula apa yang anda bisa lihat di dalamnya? apa yang anda cium, apa yang anda sentuh. Bayangkanlah pula sosok Bartimeus. Apa yang dia kenakan? Bagaimana dia bertingkah laku dan mengemis? Hidupkanlah suasananya dalam imaginasi anda.

4. Setelah membacanya perlahan, mohonkan rahmat yang ingin anda peroleh dalam doa ini. Misalnya: mohon rahmat untuk bisa merasakan cinta Tuhan dan merespon cinta tersebut, mohon rahmat untuk mohon rahmat untuk semakin dekat mengenal Tuhan sendiri, dll.

5. Anda kembali membaca perikop Markus 10:46-52 secara perlahan dan penuh sikap doa (tenang dan hormat di hadapan Tuhan). Hadirkanlah dalam imaginasi anda peristiwa kitab suci ini. Hidupkanlah suasananya, perhatikan apa yang anda lihat dalam imaginasi anda satu persatu dari situasi tempat dan juga person yang terlibat disana. Perhatikan pula dialog antara Bartimeus dan Yesus (silakan klik disini untuk membaca perikopnya). Setelah memperhatikan Bartimeus dan Yesus, perhatikan pula kerumunan orang disana. Apa yang mereka lihat? apa yang mereka rasakan? apa yang mereka pikirkan?

6. Pada prinsipnya, anda hadir dalam peristiwa tersebut dan memperhatikan apa yang terjadi. Lihatlah bagaimana Bartimeus berteriak meminta pertolongan Yesus, bagaimana mereka berdialog dan bagaimana kegembiraan dan ekspresi hati terdalamnya. Anda bisa memilih menjadi Bartimeus, lalu menjadi Yesus, lalu juga menjadi orang yang berkerumun. Ini berguna bagi anda untuk menyelami kisah dan makna peristiwa Kitab Suci secara lebih mendalam.

7. Setelah mengkontemplasikan perikop ini, bercakap-cakaplah dengan Tuhan sendiri. Utarakan perasaan dan pengalaman doa anda, hal-hal yang mengerakkan anda, inspirasi yang anda dapatkan, perasaan syukur, perasaan malu atau kecewa. Ungkapkan juga niat anda setelah merasakan pengalaman doa ini. baik bila niat itu merupakan sesuatu yang sederhana dan operasional, artinya realistis untuk diwujudkan.

8. Ucapkanlah doa syukur, lalu bisa ditutup dengan Bapa Kami.

9. Setelah doa selesai, sisihkanlah waktu sekitar 10 menit, untuk merefleksikan jalannya doa: inspirasi dan pengalaman doa apa yang anda alami? hal-hal baru apa yang terjadi dalam doa? catatlah hambatan/tantangan dalam doa yang anda alami, apa yang membuat saya gembira dalam doa? apa yang membuat anda sulit berdoa pada saat itu (bila ada). Jangan lupa mencatat buah-buah doa dan juga niat yang anda ingin buat.

Sembilan langkah di atas adalah sebuah panduan umum untuk berdoa kontemplasi Ignasian. Kuncinya adalah menghadirkan diri dalam peristiwa Kitab Suci dan mencoba untuk bertemu dengan Yesus sendiri lewat peristiwa tersebut. Oleh sebab itu, kontemplasi bukanlah sekedar mengkhayal atau membayangkan tetapi lebih berfokus pada hubungan personal kita dengan Yesus dan bagaimana kita semakin mau mengenalnya lewat tindakan, ucapan dan juga sikap hatiNya sebagaimana terungkap dalam Kitab Suci. Lewat kontemplasi, kita diajak membatinkan nilai-nilai Yesus sendiri secara personal dan mendalam.

Doa kontemplasi tentu saja membutuhkan banyak latihan. Tantangan terutama adalah bahwa seringkali para pemula kurang bisa berkonsentrasi untuk masuk ke dalam peristiwa kitab suci. Ini adalah tantangan yang "normal" dan biasanya latihan-latihan doa dan konsentrasi bisa amat membantu.


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Jumat, 24 Agustus 2007

Budaya dan Pastoral: Cerita Seorang Jesuit Pengembara (7-Habis)

Seri terakhir dari "Cerita Seorang Jesuit Pengembara" akhirnya sampai pada seri pamungkasnya. Di sini Pater Eddy membagikan kepada kita bahwa nilai-nilai kristiani dan keutamaan injili itu bagaimanapun harus diwartakan lewat ciri khas dan ekspresi budaya setempat. Sikap pastoral ini tentunya hanya mungkin terjadi bila dilandasi sikap untuk mau memahami dan mendengarkan serta mau belajar dan berdialog dengan orang-orang setempat. Di sini kita bisa belajar dari Pater Eddy yang dengan penuh perhatian hadir dan belajar dari orang-orang Yapese. Membaca kisahnya, kita selayaknya bersyukur atas rahmat karya dan karisma misioner yang dianugerahkan Tuhan kepada Pater Eddy. Tentunya dukungan dan sapaan anda kepada Pater Eddy sungguh menjadi kebahagiaan tersendiri buat beliau. Di akhir seri ini, jangan sungkan-sungkan bila anda mau memberi komentar, dukungan dan doa-doa kepada beliau. Silakan tinggalkan komentar, isi buku tamu atau berkirim email secara pribadi kepada beliau.

****
Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku (bagian ke-7-Habis)

P. Eddy Anthony, SJ

Tari tradisional

Berpastoral dengan memahami makna terdalam dari sebuah tarian yang biasa mereka tampilkan dalam upacara-upacara adat, sungguh menarik perhatianku. Mengapa? Tarian mereka mengingatkan saya ketika berada di tengah suku Mee. Tarian suku Mee menggerakkan koteka, sedangkan Yapese menggoyangkan pantat maju mundur dalam posisi berdiri berkali-kali dan diakhiri dengan teriakan keras secara bersama-sama. Ini tarian “berdiri” yang diperankan hanya oleh kaum laki-laki. Sedangkan untuk women’s dance, bagiku yang menarik adalah kesamaan antara suku Mee dan Yapese yaitu dengan menampilkan buah dada tanpa penutup apapun.

Aku selalu mengajak mereka untuk merenungkan arti dan makna tarian itu. Pertama-tama selain menampilkan keindahan juga terkait dengan kehidupan manusia dalam relasinya dengan Tuhan dan sesama. Nilai kebersamaan, kesatuan, dan kesamaan derajat, ‘ketelanjangan’, kedisiplinan dalam setiap gerak, ketepatan kata dan lagu (tanpa alat musik) adalah nilai-nilai kehidupan yang harus mereka kembangkan. Kedua, bagaimana gerak dan lagu dalam tarian itu dapat terintegrasikan dalam hidup mereka sehari-hari. Bukan hanya sekedar agar penampilannya bagus dan indah, melainkan lebih dalam daripada itu, yaitu mau bekerja sama, kita tak bisa hidup sendiri-sendiri dan dibedakan dengan kelas-kelas sosial yang sering menghambat dalam hidup menggereja. Yang ketiga, adalah sedikit demi sedikit saya menanamkan pandangan teologi tentang Gereja. Gereja Katolik adalah Gereja kita bersama, terbuka untuk siapa saja, jalan menuju padaNya. Keistimewaan tarian Yapese adalah biarpun usia masih balita namun boleh ikut dalam tarian bersama dengan orang-orang dewasa.

Tarian dengan pakaian tradisional yang didominasi oleh asesori daun-daunan dan bunga beraneka warna menunjukkan identitas diri mereka yang masih sangat natural. Polesan-polesan warna-warni ditubuh mereka bukan dari produk pabrik, melainkan mereka sangat mahir dalam mencampur warna-warna dari bunga dan buah-buahan yang tumbuh di pulau Yap. Pakaian tenun yang mereka pakai mengindikasikan bahwa mereka adalah orang-orang yang tekun dan ulet. Identitas Yapese inilah yang terus menerus saya tanamkan kepada mereka meski mereka sendiri kurang menyadarinya.

Kekuatan sebuah tarian terletak pada lagu dan gerak yang mereka bawakan. Saya dapati kesamaan pada suku Mee dan Yapese bahwa suara mulut yang mengalunkan sebuah lagu tanpa iringan musik adalah ‘kekuatan dan kekayaan’ mereka. Ada semacam obsesi bagi kedua suku bangsa ini. Mee pandai berbicara dalam perkara adat sedangkan Yapese tak pernah berhenti mengunyah pinang meski tak mengeluarkan suara. Jangan khawatir kalau lagi rapat bersama orang Mee selalu ada suasana ribut, karena masing-masing ingin bicara. Jangan heran jika selagi kita berbicara dengan Yapese mereka meludah di depan kita. Hal ini tentu bagi orang Jawa tak sopan, bukan?

Aku tak ingin membandingkan terlalu jauh dari segi antropologi dan budaya kedua suku bangsa ini, namun yang penting bagiku tugas perutusanku di kedua tempat ini sangat terbantu dengan mendalami apa yang mereka miliki, baik seni budayanya maupun komunitasnya dengan keunikan cara hidup mereka masing-masing. Bagi saya untuk bisa masuk kedalam komunitas mereka dan tinggal diantara mereka adalah bersikap seperti mereka perbuat. Pada langkah awal ini amatlah sulit dan perlu kesabaran dan perjuangan tersendiri.

Bukankah St Ignatius memberi bekal dalam Latihan Rohani agar menggunakan daya indera kita untuk menanggapi sapaan Allah dan tanda-tanda jaman? Dalam setiap tugas kerasulan mestinya bagi seorang Jesuit adalah kepekaan kita menangkap apa kehendak Allah dalam dunia dan dalam diriku.

Akhir kata

Aku sungguh bersyukur dan berterima kasih kepada Serikat Jesus yang telah memberikan kesempatan pada diriku untuk menemukan diriku yang hina ini meski senantiasa terus menerus harus di ‘daur ulang’ dengan sebutan ‘komugaibii’ (‘bii’ adalah akhiran untuk menyebut nama seseorang). Ongoing formation (pembinaan hidup yang berkelanjutan) bagiku sampai pada akhir waktuku di muka bumi ini.

Semoga pengalaman-pengalaman bersama seluruh sobatku di komunitas Serikat Jesus maupun sobat-sobat para simpatisan Serikat Jesus, berguna bagi perkembangan hidupku. Aku tak tahu apakah berguna bagi Anda yang sempat membuka website ini? Meski aku tak punya komunitas yang bisa kuajak untuk sharing, berbagi rasa dan karsa, namun Anda semua yang membantuku dalam tugas perutusanku di tempat ini adalah komunitasku. Hanya dengan kesatuan budi dan hati, meski tak hidup bersama dalam satu tempat yang sama, Anda semua yang sempat mengikuti ‘pengembaraanku’ adalah penopang hidupku.

Suasana di satu sudut Desa Gagil di Yap Islands yang sepi
Pesan Romo Eddy: Jangan membayangkan Yap itu seperti San Fransisco,
jangan pernah ada yang mau diutus ke Gagil kalau tidak siap menerima kesepian.

Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Fr. Augustinus Widyaputranto, SJ yang dengan bakat-bakat dan ilmunya telah membantuku untuk menjadikan aku semakin jadi manusia yang layak diterima sebagai makluk ‘internasional’. Barangkali dialah satu-satunya kawan dalam Serikat Yesus yang menaruh perhatian besar padaku saat aku harus berjuang menghadapi kesulitan berbahasa dan berkomunitas, terlebih lagi pertolongannya dalam teknologi perkomputeran. Juga dalam segi-segi afeksi yang sangat saya butuhkan, siapakah yang bisa meringankan beban ini kalau bukan dari para sobat dan kawanku?

Pengalaman yang cuma sepernapasan ini tidaklah berarti sama sekali dibandingkan tulisan tokoh-tokoh besar dalam serikat tercinta ini. Maka apabila ada kesalahan dan penafsiran yang keliru dalam berpastoral dan dalam tutur kata, mohon dimaklumi.

Kamagar.

Pater Albertus Eddy Anthony, SJ
St Joseph Church,
PO Box A, Colonia, YAP, FM 96943
Federated States of Micronesia
Telephone: +691 350 2598
HP: +691 950 4699
eddyanthony@gmail.com


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Berdoa Lewat Lukisan

Kemarin, Kamis siang ketika melintas di Kampus, saya dengan penuh rasa ingin tahu mampir ke sebuah pameran lukisan yang ada di Gedung Kegiatan Kemahasiswaan. Di sana sedang digelar pameran lukisan oleh seorang seniman katolik yang mengangkat tema-tema kitab suci di dalam lukisannya.

Sang seniman bernama Joey Velasco, yang adalah seorang mantan salesian, yang setelah mengalami operasi ginjal akhirnya terdorong untuk menumpahkan ekspresi dan panggilan hidupnya lewat melukis. Memandangi lukisan-lukisannya, saya seperti sedang berkontemplasi dan merenung. Melintasi deretan lukisannya, saya seperti berada di tengah-tengah "sacred ground". Lukisan dan goresan cat-nya begitu tajam seolah Tuhan sendiri sedang mengatakan sesuatu kepada saya. Tanpa sadar, hampir satu jam saya habiskan memandangi lukisan-lukisannya, dan selama itu pula saya berwawan hati dengan Tuhan dan diri saya sendiri.

Bergegas pulang, saya membeli satu set poster replika lukisan-lukisannya, dengan keinginan untuk membingkainya dan disertai harapan bahwa siapa saja yang memandanginya kelak akan berbicara dengan Tuhan sendiri.

Di bawah ini saya sajikan kepada anda satu lukisannya yang saya ambil gambarnya dari website beliau lengkap dengan refleksi atas lukisannya. Mungkin dengan memandanginya beberapa saat dalam hening, anda bisa berkontemplasi dan berdoa serta berwawan hati dengan Tuhan sendiri.


This painting is more than just about a failing down. Picture a humble God who draw strenght from a heavy fall; He allows a powerless and insignificant child to nurse His wound, to love Him. A sign of weakness??

Christ knows about a different strength. He allows people to love him. This painting is about being humbled and awed at the same time. It is about allowing others to give us a lift when we fall and feel weak. And as the paint dries and hardens on my canvas, it teaches me how to soften my stance and tenderize the soul..

Sometimes, all I need is a good cry


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Kamis, 23 Agustus 2007

Berdoa Meditasi Ignasian

Dalam hidup keseharian kita, kata berdoa mungkin lebih identik dengan aktivitas doa oral/lisan (bapa kami atau salam maria) dan doa yang bersifat devotif (misalnya rosario atau novena). Bentuk-bentuk doa seperti meditasi dan kontemplasi biasanya tidak banyak dilakukan sebagai sebuah doa harian. Sebagian orang beranggapan bahwa berdoa meditasi atau kontemplasi itu hanyalah untuk para religius atau hanya dilakukan dalam sebuah retret serius. Sebagian lain beranggapan bahwa metode doa macam ini terlalu rumit dan melelahkan.

Berdoa meditasi dan kontemplasi pada dasarnya merupakan sebuah metode doa yang sangat kaya dan formatif dalam khasanah spiritualitas kristiani. Lewat metode doa ini, kita diajak untuk selalu menggali misteri hidup Yesus dan juga cara Dia bertindak. Kalau buku-buku popular kristiani selalu senang menyinggung-nyinggung istilah "WWJD" alias "What Would Jesus Do", maka dalam meditasi dan kontemplasi kita justru diajak untuk merenungkan WWJD secara personal dan dekat lewat permenungan kitab suci.

Dalam dua artikel sebelumnya sudah dibahas soal meditasi dan kontemplasi, baik dalam spiritualitas kristiani maupun dalam konteks spiritualitas Ignasian. Pemahaman lebih jauh tentunya lebih penting bila ditekankan pada aspek-aspek praktis metode-metode doa tersebut. Dalam artikel ini akan dibahas terlebih dahulu soal bagaimana berdoa meditasi.

Dalam doa meditasi, "modal" yang dibutuhkan tentunya adalah disposisi doa, waktu, dan kitab suci. Dalam spiritualitas ignasian kita mengenal adanya langkah-langkah dalam doa:

1. Menenangkan diri. Sadarilah anda berada di hadapan Tuhan dan mau bertemu secara personal denganNya. Posisi tubuh anda bisa duduk di atas kursi, duduk bersila atau berlutut, sejauh anda merasa nyaman dan masih dalam sikap hormat pada Tuhan sendiri.

2. Ucapkanlah doa pendahuluan. Doa ini bisa merupakan sebuah "sapaan" kepada Tuhan, sebuah ungkapan ketulusan untuk mau datang di hadapanNya.

3. Setelah doa pendahuluan, bacalah pelan-pelan perikop kitab suci yang akan menjadi bahan meditasi anda. Hendaknya perikop ini sudah disiapkan dan dibaca berkali-kali sebelum melakukan doa formal. Ini artinya bahan doa harus dipersiapkan lebih dulu. Setelah membacanya, hadirkanlah diri anda dalam peristiwa perikop yang anda baca. Lihatlah situasi dan hadirkan imaginasi tentang tempat dan person dalam perikop ke dalam imaginasi/budi anda. Sebagai contoh, bahan doanya misalnya 1Korintus 13:1-13 (Tentang Iman, Harapan dan Kasih)



4. Setelah membaca perlahan, mohonkan rahmat yang ingin anda peroleh dalam doa ini. Misalnya: mohon rahmat untuk bisa merasakan cinta Tuhan dan merespon cinta tersebut, mohon rahmat untuk menyadari dosa dan bertobat, mohon rahmat untuk semakin dekat mengenal Tuhan sendiri, dll.

5. Anda kembali membaca perikop 1Kor 13: 1-13 secara perlahan dan penuh sikap doa (tenang dan hormat di hadapan Tuhan). Bila ada ayat yang menyentuh hati anda secara mendalam, anda merasa dikuatkan, mendapat inspirasi hendaknya tetaplah bertahan dan merenungkannya sedalam mungkin. Mengulangi ayatnya sampai anda bisa meresapkan dan memahami kata-kata itu dalam diri anda merupakan sebuah aktivitas doa meditasi yang mendalam. Biasanya anda bisa merasakan kedalaman kata-kata yang ada dan berseru "ya" kepada Tuhan atas kebenaran dan inspirasi yang mendalam di dalamnya serta makna atau pengalaman kongkrit dalam hidup anda yang berkaitan dengan ayat tersebut: bagaimana hidupku? apakah aku cukup mencinta dengan rendah hati dan tulus? apakah aku egois? pencemburu? bagaimana kualitas cintaku kepada sesama? dengan pamrih? apakah aku rendah hati? Anda bisa merefleksikan kata-kata yang menyentuh anda secara personal seturut semangat dan keutamaan yang diwartakan Paulus dalam surat Korintus ini. Lakukanlah hal yang sama terhadap ayat-ayat berikutnya.

6. Setelah merenungkan perikop ini, bercakap-cakaplah dengan Tuhan sendiri. Utarakan perasaan dan pengalaman doa anda, hal-hal yang mengerakkan anda, inspirasi yang anda dapatkan, perasaan syukur, perasaan malu atau kecewa. Ungkapkan juga niat anda setelah merasakan pengalaman doa ini. baik bila niat itu merupakan sesuatu yang sederhana dan operasional, artinya realistis untuk diwujudkan.

7. Ucapkanlah doa syukur, lalu bisa ditutup dengan Bapa Kami.

8. Setelah doa selesai, sisihkanlah waktu sekitar 10 menit, untuk merefleksikan jalannya doa: inspirasi dan pengalaman doa apa yang anda alami? hal-hal baru apa yang terjadi dalam doa? catatlah hambatan/tantangan dalam doa yang anda alami, apa yang membuat saya gembira dalam doa? apa yang membuat anda sulit berdoa pada saat itu (bila ada). Jangan lupa mencatat buah-buah doa dan juga niat yang anda ingin buat.

8 langkah di atas merupakan pokok-pokok berdoa meditasi secara mendasar. Sebagai permulaan akan lebih mudah mencoba 8 langkah di atas secara berurutan. 8 langkah ini akan membentuk sebuah habitus doa yang sangat baik.

selamat mencobanya.


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Franz Magnis-Suseno, SJ dalam Karikatur Om Pasikom

Penolakan Franz Magnis-Suseno, SJ terhadap "Bakrie Award" bagi beliau merupakan sebuah ekspresi solidaritas terhadap korban lumpur Lapindo. Di atas adalah Karikatur Om Pasikom, Kompas, Kamis 23 Agustus 2007.


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Inter Nos (23/08/07) : Gangguan pada Blogger.com

Sejak Selasa hingga Rabu (21-22 Agustus 2007) kemarin banyak rekan memberitahu bahwa mereka tidak bisa mengakses www.ignatiusloyola.net. Walaupun sampai dengan Rabu sore saya masih bisa membuka halaman depan blogsite, saya pun juga mengalami kesulitan untuk membuka beberapa artikel di dalam arsip, dan selalu menjumpai pesan error di dalamnya.

Selidik punya selidik, setelah mencari informasi sana sini, bahkan mencoba me-reset setting domain, semakin jelas bahwa server Blogger yang dimiliki Google ini (host server blogsite ini) memang sedang mengalami problem yang cukup serius dan massive, karena ternyata pada hari-hari itu banyak blog juga tidak bisa diakses dan menjumpai pesan-pesan error.

www.ignatiusloyola.net
baru bisa diakses secara normal kembali kurang lebih pada pukul 23.00 rabu malam kemarin, setelah Google sendiri berhasil memulihkan gangguan yang ada pada server Blogger.com.

PCWorld.com melaporkan beritanya sebagai berikut:

Outage Hits Google's Blogs

Google's Blogger service was down Wednesday morning, but appears to be functioning now.

Juan Carlos Perez, IDG News Service

Wednesday, August 22, 2007 09:00 AM PDT

Google Inc.'s Blogger blog publishing and Blogspot blog hosting services went offline earlier Wednesday. Among the organizations affected by this apparently widespread outage was Google itself, which hosts its official company blogs on Blogspot.

Blogger publishers have posted a rising volume of complaints on the official Blogger discussion forum since Monday, reporting problems editing, publishing and accessing blogs.

However, things apparently took a turn for the worst on Wednesday morning U.S. Eastern Time, when Blogger and Blogspot apparently went totally offline.

Checks on Blogger.com and a variety of Blogspot-hosted blogs by IDG News Service staff in different parts of the U.S. and Europe returned server error messages, confirming reports from users in the Blogger discussion forum.

Blogger and Blogspot came back online at around 11 a.m. U.S. Eastern Time. The outage apparently lasted over one hour. However, many Blogger publishers have been reporting error messages when trying to perform a variety of operations at least since Monday.

Google didn't respond to a query on Tuesday about the complaints piling up in the discussion forum, nor did it reply to a request for comment on Wednesday morning about the service's outage.


Mohon Maaf atas ketidaknyamanan yang ada. Semoga hari-hari ke depan gangguan semacam ini tidak dialami kembali. Hari Kamis ini, posting akan berjalan kembali seperti biasa. Kisah Pastoral dan Hidup Jesuit Pater Eddy seri ke-6 sudah saya publish rabu kemarin, dan akan memasuki seri terakhir jumat besok.

Terima Kasih


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Rabu, 22 Agustus 2007

Rumah Kecil: Cerita Seorang Jesuit Pengembara (6)

Dalam seri tulisan keenam dari tujuh tulisan ini, Pater Eddy berbagi kepada kita tentang perkenalannya dengan adat istiadat Yapese dan juga usahanya mencari jalan masuk kepada spiritualitas kristiani. Dalam ceritanya Pater Eddy sendiri menuturkan bagaimana beliau pun belajar dan berefleksi tentang hidup rohani dan hidupnya sebagai Jesuit ketika berkenalan dengan budaya Yap berikut nilai-nilai transenden dan suci yang dikandung di dalamnya.
****

Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku (bagian ke-6)

P. Eddy Anthony, SJ

Small house

Kalau kita bertemu orang Mee selama mereka masih berada di Papua pasti dengan mudah kita mengenalinya dari sebuah “noken” (sejenis tas keranjang terbuat dari kulit kayu) yang tergantung dibelakang kepala mereka.

Ketika saya bertanya, "mengapa kalian selalu membawanya dan dengan cara seperti itu?"

“Noken ini adalah jiwa kami, kami selalu membawanya dibelakang tubuh sebab kami tak mau menonjolkan harta kekayaan kami, jiwa kami”

Dan sekarang ini kalau saya menjumpai orang-orang Yapese, ada yang kurang lebih mirip dengan Mee untuk mengenalinya. Dimanapun dan kapanpun Yapese selalu menjinjing “wai” (keranjang terbuat dari daum kelapa, yang bentuknya hampir sama dengan tempat ayam sabung di Bali).

Jawaban orang Yapese agak berbeda : “This is my small house”.

Karena kebiasaan mengunyah pinang maka tak mengherankan bahwa ‘wai’ selalu berisi: daun sirih, pinang, kapur dan tembakau dan tentu saja ‘tempolong dubang’ (Jw: idu abang = air ludah warna merah setelah mengunyah pinang) dari kaleng bekas Coca-cola.

Yapese yang berasal dari Outer Islands atau pulau-pulau tetangga sekitar pulau Yap, jauh lebih mudah lagi untuk mengenalinya. Kaum wanita dengan rok bawahan terbuat dari tenun, dinamakan ‘lava-lava’ tanpa penutup bagian atasnya, sedangkan kaum pria banyak memakai kain ‘thuu’ warna biru atau putih atau hijau atau merah yang dililitkan pada bagian tubuhnya seperti gaya olahragawan ‘sumo’ di Jepang. ‘Wai’ bentuknya agak sedikit lain, yaitu tanpa jinjingan, melainkan ditaruh diantara ketiak (Jawa: dikempit). Bahasa dan temperamen sedikit berbeda dengan Yapese yang berasal dari main island. Mereka hidup rukun satu sama lain dan mereka saling memahami jika mereka berbicara dengan bahasa yang mereka gunakan.

Aku belum ada kesempatan untuk mengunjungi pulau-pulau tetangga. Baru sempat mengenal dua paroki dengan 9 gereja yang ada di main Island. Dari 9 gereja itu, Paroki St Mary terdiri dari 5 sedangkan St. Joseph ada 4 gereja, satu diantaranya harus menyeberang laut. Dalam jiwaku dan dalam ‘rumah kecil’ ku terkadang aku berteriak: mampukah aku menjalani tugas perutusanku ini, ataukah aku akan bangga dengan sebutan menjadi missionaris di tanah misi ini? Latihan Rohani (LR) St Ignatius masih tersimpan rapi dalam jiwa dan ‘rumah kecil’ku, aku tak kan menyerah, cuma yang aku butuhkan adalah ‘spiritual touch’ dari sahabat-sahabat se Serikat tentu juga dari luar serikat, teman-teman lamaku, baik berupa sapaan maupun dukungan dan peneguhan.

Terkadang aku mengalami dorongan yang sangat kuat untuk kembali ke tanah air, tetapi LR selalu mengingatkan : apabila waktu untuk melakukan pemilihan itu tidak dalam terang ilahi, maka jangan mengambil putusan apapun. Hendaklah kamu menambah waktu doamu agar engkau dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan kehendakNya. Dan bila engkau mengambil putusan dalam keadaan jiwa dan ‘rumah kecil’mu tidak teratur, maka barangtentu putusanmu juga tak teratur. Doaku bukan agar aku bisa bertahan di pulau Yap, melainkan agar apa yang aku lakukan sungguh berkenan kepadaNya, mampu melayani umat di sana, dengan semboyan AMDG (Ad Maiorem Dei Gloriam)

Stone money

Kalau anda mau melihat seperti apa stone money, anda bisa memperhatikan gambar pastoran, terlihat ada satu dengan ukuran relative kecil, di depan pastoran. Yap Island dikenal juga dengan Stone Money island. Jenis batu untuk stone money ini jarang ditemui di Yap, maka menurut kata orang-orang tua, mereka mendatangkan batu-batu tersebut dari Palau (pulau disebelah barat Yap ke arah Philippines) dengan perahu layar.

Nah, anda masih ingat suku Mee di Waghete? Sekitar lima belas tahun yang lalu ketika aku berada di sana, mereka suka sekali mengumpulkan uang logam. Uang logam dipahami sebagai uang yang tak mudah rusak, abadi bagaikan jiwa ini. Mereka ‘membayar’ misa (maksudnya tentu saja memasukan derma untuk gereja) bagi jiwa orang yang meninggal dengan uang logam agar jiwa mereka tetap abadi di sorga.

Bagaimana dengan stone money di Yap? Ada nilai ‘keabadian’ tersirat dalam keyakinan hidup mereka. Siapakah ‘yang abadi’ itu? Apakah itu ‘allah’ atau ‘tradisi’ atau ‘sesuatu yang memiliki kekuatan gaib’. Stone money ada di rumah-rumah mereka, dijalan, dikebun, juga dirumah laki-laki (men’s house) atau rumah perempuan (women’s house). Saya masih akan mengenal apa makna stone money bagi Yapese. Tetapi kita sudah bisa membayangkan bagaimana relasi antara pria dan wanita dan bagaimana tradisi yang sangat kuat mendasari hidup mereka.

Sebagai pastor paroki, aku hanya bisa mengingatkan bahwa nenek moyang kita orang-orang Yapese adalah suku bangsa yang tangguh sekokoh stone money, bertahan dalam badai dan ombak, mengenal keabadian jiwa dan roh – artinya hidup abadi. Oleh sebab itu hadapilah segala macam tantangan hidup dengan ketegaran jiwa dan semangat berjuang untuk melawan kegelapan jiwa kita.

Hanya sejauh inilah saya mengenal makna stone money. Mengherankan bagiku bahwa, tak ada seorangpun mencuri stone money karena setiap orang di desa tertentu tahu siapa pemiliknya. Jika ada man’s house dibangun baru maka ada beberapa orang membawa stone money dan meletakannya diseputar rumah tersebut. Semakin banyak stone money di rumah itu berarti rumah itu tergolong ‘mahal’. Mahal artinya semakin ‘keramat dan kudus’, dan menurut pengamatan saya rumah tersebut menjadi symbol kekuatan dari status sebuah desa. Bayangkan di desa kecil Gachpar, bagian dari ‘kelurahan’ Gagil, tempat aku berada terdapat 3 man’s house.

Kesimpulanku: dalam ‘rumah’ batin yang teratur rapi, tersimpan ‘jiwa’ yang kokoh dan magis. Itulah Yapese. Mulai dari sanalah aku hidup bersama orang-orang Yapese di Yap Islands, sejauh aku mampu melayani dengan perspektif ignatian.

(Bersambung)


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Senin, 20 Agustus 2007

There Must Be Something More...

Spiritualitas Ignasian, sebagaimana selalu disebutkan disini, selalu ditandai dengan upaya untuk menemukan jejak cinta Tuhan di dalam hidup kita secara nyata, dan kadang bahkan dalam realitas yang sederhana sekalipun. Tantangan kita, adalah untuk bisa menyediakan waktu, hati dan juga perhatian untuk benar-benar merenungkan hidup dan relasi kita dengan Tuhan.

Daniel Gilbert dalam bukunya Stumbling on Happiness menunjukkan bahwa manusia jaman ini hidup dalam ilusi dan imaginasi akan hari esok yang menyebabkan kita kehilangan arah atas pilihan-pilihan hidup kita dan juga memberi ukuran dan patokan-patokan yang keliru dalam memahami hidup dan mencari makna kebahagiaan. Kultur "kerja keras", wabah affluenza yang ditandai keinginan konsumtif yang besar, keinginan untuk selalu dikenal, dihormati dan juga merasa aman secara finansial merupakan karakteristik orang jaman ini. Semakin larut kita masuk ke dalam arus tersebut, semakin kita menjadi tidak akrab dengan hati, emosi, perasaan dan juga alam budi kita, lebih-lebih pada soal pencarian makna hidup yang sejati. Orang tidak lagi akrab dengan nilai-nilai hidup tetapi lebih pada ambisi-ambisi hidup. Spiritualitas pun dihayati dalam perspektif "Do It Yourself". Orang semakin skeptis dengan nilai-nilai transenden dan suci, dan lebih terobsesi pada determinasi pribadi dan realitas empiris material.

Kadang kita begitu skeptis apakah Tuhan benar-benar menyertai kita, apakah Tuhan benar-benar hadir dalam realitas dan segala tantangan yang kita alami. Manusia jaman ini seringkali kurang setia dan selalu mencari tanda, tanda yang sebenarnya hanya dapat kita temukan ketika kita duduk merenung dan melihat kembali hidup kita dengan tekun, dan berdialog dengan Tuhan sendiri.

Video clip berikut ini disajikan buat anda, sekaligus sebuah ajakan untuk merenung. Dimanakah jejak langkah Tuhan kita benar-benar cari dan temukan. Isi renungan kembali pada diri anda sendiri. Selamat menikmati.


"Something More" sung by Lea Salonga - Songs for The Skeptics,
Jesuit Communications, Philippines
Video by: mhcaillesrn


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Suka Duka di Yap Islands : Cerita Seorang Jesuit Pengembara (5)

Dalam seri ini, Pater Eddy membagikan kepada kita bahwa tempat baru selalu penuh tantangan yang kadang membuat hati kecut dan nyali luluh. Namun dengan kesetiaan dan keberanian yang tangguh Pater Eddy sampai juga di Yap Islands dan bergelut dengan suka duka karya di sana: berjuang seorang diri, menyelami budaya Yapese dan sekaligus menjadi semakin dekat kepada Allah sendiri dan meneguhkan panggilan imamat dan Jesuitnya. Kisah berikut ini sungguh dinamis, dan membuat kita bisa termenung mengambil inspirasi dari pengalaman Pater Eddy ini. Selamat menikmati.

****
Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku (bagian ke-5)

P. Eddy Anthony, SJ

Anima Christi

Dari paroki St Yohanes Pemandi di Waghete kini aku harus pindah ke St Joseph’s Parish, di Gagil, Yap, Federated States of Micronesia (FSM). Dari pedalaman di ketinggian 2000 m diatas permukaan laut menuju ke sebuah pulau yang amat kecil di tengah lautan Pasific , jauh ke arah sebelah utara Papua. Siap diutus ke Papua untuk menolong jiwa-jiwa, kini jiwaku sendiri mulai tergoncang, dan ragu-ragu. Berangkat ke Yap dengan sebuah pertanyaan : siap sediakah aku diutus kesana? Aku tak mampu berbahasa Inggris, dan aku harus belajar bahasa Yapese, menyesuaikan diri dengan budaya Yapese.

Peta Kepulauan Yap di Lautan Pasific.
Butuh ketelitian untuk mencari letaknya via Google Earth

Ternyata jiwaku masih rapuh, integrasi hidup rohaniku selama penggemblengan di wilayah pedalaman belum benar-benar nyata dan terwujud ketika harus dihadapkan pada disponibilitas, yaitu siap sedia bagi tugas perutusan yang baru. Aku mulai berdoa ‘Anima Christi’ sebuah doa yang paling favorit bagi St Ignatius Loyola.

“Jesus … Best Friend, may your soul give life to me, may your flesh be food for me, may you warm my hardened heart”.
Ada beberapa teman Jesuit yang bertanya padaku: Apakah kamu siap sedia ke Yap, untuk apa sih kamu kesana? Benar sekali pertanyaan itu, kadang aku harus berteriak seperti Jesus berkata kepada Bapa: Eli, Eli, lama sabaktani. Bapa, kenapa aku kau biarkan sendirian? Tak ada sapaan, tak ada ‘say hello’ dari teman di tanah air. Memang tidak semua tahu aku dimana, Yap itu letaknya dimana. Hanya ada beberapa gelintir teman sesama anggota Serikat Jesus yang menyemangati tugasku di Yap antara lain dengan membantuku dalam berbahasa Inggris. Juga ada seorang Jesuit Yapese yang mulai mengajari saya berbahasa Yap, mengenal keadaan Yap dan orang-orangnya..

17 Agustus 2005

Bagi bangsaku tanggal 17 Agustus adalah hari bersejarah, demikian juga bagi diriku. Hari itu pertama kali aku mendarat di Yap. Saya bayangkan seperti di Waghete, banyak orang akan menyambutku. Ternyata keliru, hanya seorang Jesuit meyambutku dan memberiku kalungan bunga. Dialah Apolinaris Thall, SJ, yang pada hari-hari selanjutnya memperkenalkan seluk beluk Paroki St Joseph, di Gagil. Dia memberiku: kunci mobil, senter, kitab suci berbahasa Yapese dan sejumlah kunci (kotak surat kantor pos, pastoran, dan gereja). Kami berdua saling mengenal dan belajar, terutama bagi saya, rasanya seperti anak TK dari Komugai di Waghete. Cocok sekali namaku Komugaibii, bukan?

Kehendak Tuhan tak dapat kita tawar-tawar lagi, dan saya percaya kehendakNya tak akan membuat kita menderita. Hanya ada satu soal: Mengapa itu terjadi? Pater Apolinaris hanya kurang dari 15 hari menemani aku. Dia dipanggil Tuhan untuk menghadapNya di surga pada tanggal 4 September 2005, dalam usia yang ke 55 tahun. Oleh sebab itu seorang Jesuit dari Outer Islands, yang menjadi pastor Paroki St Ignatius disana, dipindahkan di Colonia, Yap, sebagai ‘acting’ pastor paroki St Mary, menggantikan A. Thall. Selanjutnya hari-hari penuh perjuangan dan tantangan mulai saya jalani di paroki desa terpencil, sepi seorang diri, pastoran terletak di pinggir samudra, hanya sekitar empat meter dari bibir pantai. Hari-hari pertama membayangkan bagaimana kalau terjadi tsunami kayak di Aceh. Tiap saat terdengar suara ombak jlegar jlegur dari ruang kerjaku…

Pastoran Paroki Yap di pinggir laut (photo: dok.pribadi Pater Eddy)

Missa pertama

Misa pertama dalam bahasa Inggris, sedangkan nyanyian, doa, bacaan kitab suci menggunakan bahasa Yapese, kami adakan di Gagil. Pada awal missa, saya berkata, bahwa kalau ada kesalahan ucapan, kalimat dan kata-kata dalam bhs Inggris dan Yapese, mohon dicatat dan dihitung, berapa banyak kesalahan yang saya buat. Kemudian sesudah missa, pada saat sesudah pengumuman gereja dibacakan, saya mulai bertanya:

"berapa kesalahan yang kalian temukan pada diriku?

“Nothing”, Jawab mereka.

"Lho piye tha iki. Ah yang bener aje," aku mulai protes.

Teringat olehku akan St Ignatius ketika pertama kali merayakan missa dalam bahasa Italia, sebelum misa, beliau berkata bahwa kalau ada kesalahan tolong dicatat. Beliau merasa bahwa ada banyak kesalahan yang dilakukannya, namun orang-orang berkata:

"bukan kata dan ucapan yang penting bagi kami melainkan kehadiran Allah dalam perayaan Ekaristi yang memberi kami damai"

Mulai dari pengalaman missa pertama itulah aku mulai berani berkomunikasi dengan mereka orang-orang Yapese, aku mulai belajar bahasa mereka, budaya dan adat istiadat mereka. Makanan sehari-hari, selain beras import dan makanan kalengan, adalah makanan dari kebun mereka berupa ‘potatos, yam, taro’ (jenis umbi-umbian yangsama jenisnya dengan yang tumbuh di Waghete Papua). Makanan tradisional ini rupanya juga membentuk masyarakat yang sangat dekat dengan alam. Alam kepulauan yang indah dan subur, dipenuhi dengan berbagai macam jenis bunga, dan berbagai jenis buah-buahan, kelapa, bamboo, dan betelnut (pinang). Nah tumbuhan betelnut itulah yang ‘menghidupi’ mereka orang-orang Yapese. Tak ada seorang Yapese-pun yang hidup tanpa mengunyah pinang (nginang). Sebelum dan sesudah misa mereka nginang, bahkan di dalam gereja.

Bersama Deacon Arthur Donald Fijibman. Belajar bahasa Yapese sambil mau mencuci pakaian.
Latarbelakang adalah kebun betel nut (photo: dok.pribadi)

Bukankan kita juga mengunyah Jesus dan sabdaNya didalam perayaan Ekaristi? Kata ‘mengunyah’ nampaknya lebik cocok dari pada ‘makanlah dan minumlah inilah Jesus....’. Sejauh ini spiritualitas kristiani rasanya telah tumbuh berkembang dan terintegrasikan ke dalam hidup harian orang Yapese, antara lain kebiasaan duduk bersama sambil nginang (sharing dan mengambil putusan dalam pertemuan/rapat), kesatuan dengan alam ciptaan Tuhan, kekerabatan/keluarga, tanah dan rumah, kehadiran Allah dalam hidup mereka yang kita tanggapi dengan berbagai bentuk tarian dan kesenian Yapese. Pendek kata tradisi Yapese memiliki nilai-nilai spiritual kristiani.

(Bersambung)


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Kontemplasi dan Meditasi Dalam Spiritualitas Ignasian

Memahami Kontemplasi dan Meditasi dalam spiritualitas Ignasian memang tidak bisa dilepaskan dari pemahaman terhadap metode doa-doa ini dalam tradisi Spiritualitas Kristiani. Bisa dipahami apabila banyak pakar spiritualitas Ignasian ataupun para pembimbing rohani mendasarkan penjelasannya pada definisi dan perbedaan antara kontemplasi dan meditasi sebagaimana dipahami dalam spiritualitas kristiani pada umumnya, ketika hendak menjelaskan soal "apa dan bagaimana" berdoa kontemplasi dan meditasi dalam Spiritualitas Ignasian atau Latihan Rohani St. Ignatius.

Pater George Ganss, SJ misalnya menunjuk bahwa meditasi Ignasian pada dasarnya adalah sebuah doa yang bersifat diskursif dan sangat cocok dilakukan untuk para pemula yang biasanya seringkali cenderung untuk mencari prinsip-prinsip dan juga pemahaman kognitif atau juga inspirasi akal budi yang dapat mendukung keyakinannya ketika membangun hidup iman dan hidup rohani.(Ignatius Loyola, Spiritual Exercises and Selected Works, p.396). Sedangkan Pater Joseph Tetlow, SJ mengatakan bahwa Meditasi Ignasian adalah sebuah cara soal memikirkan dan merefleksikan sesuatu, dengan menimbang-nimbang makna dan relevansi serta inspirasinya dalam hidup. (Ignatius Loyola - Spiritual Exercise, p.69).

Mengenai Kontemplasi Ignasian,, Pater Joseph Munitiz, SJ dan Pater Philip Endean, SJ mengatakan bahwa kontemplasi Ignasian adalah cara berdoa yang membuka pintu mata hati, dan membimbing kepada doa yang intim, doa yang reseptif dan mendalam sungguh pada hati kita/doa afektif. (Ignatius - Personal Writings. p. 16). Pater John English, SJ menjelaskan lebih jauh bahwa ketika seseorang melakukan doa kontemplasi Ignasian, dia sungguh-sungguh mau mengalami pengalaman berada di hadapan Tuhan sendiri, daripada berpikir ataupun berefleksi dengan akal budi tentang keutamaan-keutamaan dan ajaran iman kristiani (Spiritual Freedom, p.135)

Di samping adanya kekhasan dan juga sekaligus perbedaan antara doa kontemplasi dan meditasi seperti tersebut di atas, dalam retret Ignasian ataupun juga dalam Latihan Rohani perbedaan-perbedaan tersebut hendaknya tidak dilihat secara kaku dan hitam-putih. Mengapa demikian? Para pakar spiritualitas Ignasian menilai bahwa dalam realitas hidup doa dan juga dalam situasi retret nyata, biasanya perbedaan-perbedaan itu tidak lagi menjadi begitu "penting" mengingat bahwa dalam metode doa Ignasian keterlibatan seluruh indera, budi dan hati merupakan sesuatu yang sungguh integral dan tidak perlu dikotak-kotakkan atau dibatasi. Doa Ignasian adalah doa yang mau membawa orang menuju pada sebuah pengalaman hidup rohani yang integral sebagai pribadi yang utuh.

Pater Joseph de Guibert, SJ menunjuk dengan lebih tegas sebagai berikut:

Dalam Spiritualitas Ignasian, pada prakteknya tidak ada pembedaan secara tajam antara kontemplasi dan meditasi. Justru sebaliknya, dalam banyak pengalaman berdoa, kedua metode doa ini seringkali overlapping dan saling melengkapi satu sama lain serta bisa hadir secara bergantian.(The Jesuits - Their Spiritual Doctrines and Practice, p.607)

Setelah memahami arti doa kontemplasi dan meditasi baik dalam khasanah spiritualitas kristiani dan juga Ignasian, mungkin sebagian orang masih bertanya-tanya: Bagaimanakah melakukan kontemplasi dan meditasi dalam semangat spiritualitas Ignasian? Silakan ikuti uraian dalam artikel selanjutnya yang akan mengupas lebih detail hal-hal praktis berkaitan dengan kontemplasi dan meditasi.


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Minggu, 19 Agustus 2007

Dari Papua Ke Yap Islands: Cerita Seorang Jesuit Pengembara (4)

Hidup dan tinggal serta sehati dengan masyarakat asli Papua sungguh merasuki hati dan panggilan Pater Eddy sendiri sebagai seorang Jesuit. Tantangan medan Papua yang ganas, sekarang sudah berubah menjadi sebuah "permata hati", yang membahagiakan karena pertama-tama banyak orang sudah terbantu lewat kehadiran Pater Eddy bersama rekan-rekan Jesuit seperjuangan di Papua dan juga Serikat Yesus. Kebahagiaannya terlihat jelas ketika usaha-usaha pastoral membuahkan hasil besar buat perkembangan masyarakat di sekitar, baik secara ekonomi, sosial, pendidikan dan juga iman katolik. Seperti layaknya seorang Jesuit sejati, Pater Eddy dengan siap sedia akhirnya pergi meninggalkan Tanah Papua, dan diutus untuk bertugas di Yap Islands. Sebuah tantangan baru. Selamat menikmati.
****

Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku (bagian ke-4)

P. Eddy Anthony, SJ

Penegasan bersama

Masih terngiang ditelingaku suara anak-anak Mee di Waghete yang berhasil menyelesaikan studinya di tingkat SD dan SMP Yayasan Katolik.

“Patoga, apakah Serikat Yesus masih mau bertanggungjawab atas kelanjutan studi kami?”
Pada waktu itu sampai pada awal millenium, di tahun 2000, di seluruh Keuskupan Jayapura hanya ada satu sekolah yang baik berpola asrama, mereka butuh uang banyak, selain untuk transpotasi juga untuk asrama dan studi. Anak-anak harus menempuh perjalanan sejauh Jogya – Semarang (sekitar 120 km) dengan berjalan kaki (belum ada jalan darat dari Waghete ke Nabire) dan dilanjutkan dengan pesawat dari Nabire menuju Abepura, disana ada SMA Taruna Bhakti (TB). Bagi yang mampu membayar pesawat jenis Cessna dari Waghete ke Nabire sekitar setengah juta rupiah waktu itu hanya dengan waktu kurang dari 40 menit sudah tiba di Nabire.

“Baiklah, kalau kamu mencapai nilai bagus dan lulus testing di TB maka saya bantu transpotasi dan uang asrama selama setahun” demikian jawaban dari Komugaibii.
Dengan keprihatinan macam ini, Serikat ingin menunjukkan keseriusannya dalam membekali dan membagikan kekayaan spritualitas serikat, melalui pendidikan agar semakin tercapai tujuan manusia diciptakan untuk mengabdi dan memuliakan Allah dalam segala sesuatu. Saatnyalah sekarang Serikat mengadakan penegasan bersama dalam bidang pendidikan.

Komunitas para Jesuits di Nabire mulai menggagas dan juga mengadakan penegasan bersama untuk terlibat pada bidang pengembangan sumber daya manusia (asli) Papua dengan membuka bengkel perkayuan dan terlibat di sebuah sekolah SMA Adiluhur, membangun asrama putra dan memperhatikan asrama putri. Nabire disepakati bersama sebagai residensi rumah serikat dengan karya propria Jesuits, asrama dan Kolese Le Cocq d’Armanville.

Hatiku lega ketika selama 2 tahun sejak penegasan dibuat, anak-anak Waghete bisa melanjutkan sekolah dengan beaya relatif lebih murah.

Lebih menggembirakan lagi bersamaan dengan gagasan Serikat untuk memilih Nabire sebagai rumah residensi, pemerintah telah memulai membangun jalan darat dari Nabire tembus ke Waghete. Tahun 2001 pertama kali sepeda motor masuk ke Waghete, dan tahun 2003 pertama kali sebuah truk masuk ke Waghete. Tak pernah terbayangkan, bahwa ada sebuah truk bisa masuk dipedalaman wilayah Tiga Danau (Paniai, Tigi dan Epouto), meski lebih dari 3 hari perjalanan dari Nabire ke Waghete, harus lewat kali dan naik turun gunung dan masuk keluar hutan belantara.

Meskipun Nabire sering digoncang gempa, namun Serikat tak pernah mengelak dari komitmen hasil penegasan bersama. Sebab itu aku bisa tersenyum bersama anak-anak Mee di Waghete. Beberapa kali kami dikunjungi oleh teman-teman Jesuit dalam dalam negeri dan luar negeri. Kami memperkenalkan diri dan menunjukkan kesungguhan kami demi masa depan Mee agar mereka bisa ‘duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi’ bersama suku-suku lain dari luar Papua, dan jangan sampai terjadi ‘orang lain yang merasa kuat menduduki mereka’. Jangan sampai kami ditindas, dikibuli dan dibohongi diperlakukan tidak adil, ditindak secara sewenang-wenang. Memang kami bodoh dan bloon, kotor dan berbau, hitam dan gelap, tak banyak yang bisa baca dan tulis, buta huruf dan buta bahasa, namun hati kami tetap berhati permata.

Tidurlah permata hatiku, esok pagi matahari ‘kan bersinar, hanya memberi tak harap kembali. Percayalah, tak ada seorang Jesuitpun yang tak kenal Waghete. Hanya perlu satu Hati dan budi seorang Komugaibii - dengan rendah hati dan siap sedia melayani dan mencintai sebagai orang non-Papua yang berhati Mee – misi serikat terwujud. Aku ini orang non-Papua , namun bukankah itu hanya soal tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, tetapi jiwa dan rohku dari Sumber yang sama. St Ignatius berkata: Siapapun engkau jika engkau masuk ke rumah orang lain, harus dengan rendah hati mengikuti aturan dan menerima apa saja yang disediakan dan berlaku dirumah itu.

ad Dispersionem

Saya sebenarnya ingin melanjutkan sharing saya tentang ‘permata hatiku’ di Waghete. Akan tetapi aku ini sudah terlanjur menjadi anggota ‘ad dispersionem’ artinya anggota serikat yang bersedia disebar kemana saja. Ya benar sekali, ‘disebar’ bukan dibuang atau dicampakkan. Atau kalau mau disebut lebih spiritual, bersedia untuk diutus kemana saja. Terkadang kata ‘kemana saja’ itu menjadi peluang untuk para anggota Serikat merangkap jabatan bertumpuk-tumpuk, sehingga rasanya batok kepala bagaikan ditimpukin batu kali berkali-kali.

Ada tiga semboyan bagi anggota Serikat Provinsi Indonesia, yang dilontarkan seorang Provinsial, pada tahun 2002 yaitu Indonesia, Inclusive dan International. Maksud itu apa sebenarnya tidak begitu jelas bagi saya. Tidak jadi soal. Namun barangkali itulah yang menjadi alasan Pater Provinsial menawari saya untuk memikirkan tugas pelayanan di sebuah pulau sangat kecil di tengah lautan Pasific, Yap Islands, Federated States of Micronesia (FSM).

Sejak tahun 1977 sebenarnya serikat provinsi Indonesia setiap tahun atau dua tahun sekali mengirimkan dua scholastiknya ke wilayah FSM, sebagai masa formasi bagi para Jesuit. Sejauh saya tahu mulai th 2003 dikirimlah seorang imam bersama seorang scholastic ke FSM untuk menangani Xavier High School, di Chuuk, FSM. Dan tahun 2004 akan disebarkan pula anggota Provinsi Indonesia untuk menangani sebuah paroki. Paroki St Joseph’ Parish tanpa gembala lagi. Pater Neil Poulin SJ yang sudah lebih dari 30 th di paroki itu pulang kepada Bapa pada 28 Mei 2004.

(Bersambung)


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Sabtu, 18 Agustus 2007

Berkenalan dengan Meditasi dan Kontemplasi

Dalam tradisi Spiritualitas Ignasian, ada dua metode doa yang sangat fundamental apabila kita mulai melakukan Latihan Rohani St. Ignatius Loyola. Dua metode doa ini kita kenal sebagai "meditasi" dan "kontemplasi". Dalam tradisi spiritualitas kristiani, secara tradisional, baik doa meditasi ataupun doa kontemplasi dapat dikenal dan dikategorikan sebagai "mental prayer". Disebut mental prayer, karena doa macam ini sungguh berbeda dengan doa-doa lisan pada umumnya seperti antara lain pendarasan mazmur secara bersama, berdoa rosario atau berdoa lisan biasa (bapa kami atau salam maria). Mental prayer lebih bertitik berat pada doa personal dan mengandaikan keaktifan dari budi, indera, imaginasi dan perasaan kita yang dipusatkan pada permenungan peristiwa-peristiwa Kitab Suci. Walaupun keduanya disebut sebagai mental prayer, namun demikian, sudah sejak abad ke-16 kedua doa ini secara fundamental memiliki perbedaan yang sangat mendasar.

Kontemplasi walaupun dipahami sebagai "mental prayer" namun isi dan metodenya tidak bersifat "diskursif". Dengan demikian, bisa dipahami bahwa doa kontemplasi lebih melibatkan afeksi, perasaan dan emosi seseorang. Ini bisa berarti bahwa seseorang lebih cenderung untuk "hanyut" dan merasa-rasakan peristiwa yang direnungkan dalam Kitab Suci lewat berbagai indera: melihat, merasakan, mengamati, mengikuti, mendengarkan, dan membatinkan. Kehadiran Tuhan lebih ditangkap dengan sikap cinta dan berserah karena merasakan kehadirannya secara dekat dalam peristiwa doa. Dalam banyak hal, kontemplasi bisa dikatakan doa yang lebih reseptif, dan lebih "bebas" dibandingkan dengan meditasi.(cf. William Shannon, "Contemplation, Contemplative Prayer", The New Dictionary of Catholic Spirituality"). Dalam banyak hal, kontemplasi berarti hadir dan ikut serta bersama Yesus dalam peristiwa Kitab Suci, melihat, mendengar dan membatinkan cara bertindak Yesus sendiri. Doa kontemplasi adalah doa yang mengajak kita untuk "berimaginasi" tentang Allah yang kita kenal. Lewat imaginasi kita, kita percaya bahwa Allah turut bekerja mewartakan dirinya dan menggerakkan emosi, perasaan, afeksi, budi dan kehendak kita untuk mencintai dan semakin membatinkan cara bertindak Allah sendiri. Tentunya, cara termudah adalah mengimaginasikan sebuah peristiwa dalam perikop kitab suci, membayangkan anda sendiri hadir disana, sebagai para murid atau sebagai outsider yang terus mengikuti Yesus. Perlahan, rasakanlah perasaan anda melihat perbuatan dan karya Yesus. Perasaan apa yang muncul? Anda juga bisa bercakap-cakap dengan Yesus dalam peristiwa tersebut. Dalam melakukan kontemplasi perlu diingat pokok-pokok penting dalam berdoa seperti sudah diulas dalam artikel sebelumnya di blog ini (silakan lihat archive).

Di sisi lain, meditasi lebih dicirikan sebagai "mental prayer" yang bersifat "diskursif", artinya lebih cenderung untuk menimbang-nimbang, berefleksi tentang gagasan dan inspirasi yang ada dalam Kitab Suci. Meditasi sangat berkaitan dengan aktivitas refleksi secara sistematis tentang ide-ide suci dan keutamaan yang ditemukan dalam peristiwa Kitab Suci yang kemudian bisa menggerakkan afeksi dan perasaan cinta pada Tuhan sendiri. (cf. Laurence Freeman, "Meditation", The New Dictionary of Catholic Spirituality). Bisa dikatakan bahwa doa meditasi lebih mengarah untuk menimbang kebijaksanaan dan keutamaan dari peristiwa-peristiwa Kitab Suci, perbuatan dan perkataan Yesus, dan mencoba merenungkannya dengan akal budi, sehingga sungguh memberi pencerahan untuk hidup kita dan membuat kita semakin tergerak mencintaiNya. Teknik meditasi kristiani secara sederhana misalnya adalah dengan merenungkan sebuah perikop kitab suci, membacanya perlahan dan merenungkannya secara mendalam bila anda terpesona atau tertarik pada sebuah kata, ungkapan yang ada. Dari situ anda merenungkan arti kata, kalimat tersebut secara kontekstual dalam hidup anda sendiri. Tentunya, sekali lagi perlu diingat pokok-pokok penting dalam berdoa seperti sudah diulas dalam artikel sebelumnya (silakan lihat archive).

Bagaimanakah Doa Kontemplasi dan Meditasi dipahami dalam semangat Spiritualitas Ignasian? Silakan ikuti artikel berikutnya...


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Jumat, 17 Agustus 2007

Cerita Seorang Jesuit Pengembara (3)

Dalam seri tulisan ini, Pater Eddy, membagikan kepada kita bagaimana berinteraksi, memahami budaya setempat dan meningkatkan harkat hidup lewat pendidikan juga tidak luput dari concern beliau terhadap masyarakat papua. Dari sini Pater Eddy bercerita soal bagaimana memperkenalkan nilai-nilai dan spiritualitas kristiani kepada masyarakat papua. Dari cerita beliau di bawah ini, kita akan melihat betapa spiritualitas ignasian betul-betul dicoba dihayati sungguh oleh Pater Eddy dalam perjuangan beliau di tengah suku asli papua. Jangan lupa, silakan tuliskan kesan, dukungan atau doa-doa anda kepada Pater Eddy dalam kolom "comment". Selamat menikmati
****

Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku (bagian ke-3)

P. Eddy Anthony, SJ

Compania et Labora

St Ignatius mengumpulkan teman-temannya dan menamakan diri kelompoknya dengan nama Compania de Jesus, artinya sahabat-sahabat Yesus. Dengan persahabatan diantara anggotanya, Serikat menjalankan tugas perutusannya. Semangat ini mendasari tugas perutusanku diantara suku Mee.

Saya harus berusaha mencari kesepadanan dengan spiritualitas suku Mee agar tugasku efektif dalam mendampingi mereka. Saya menemukan spiritualitas hidup mereka yang sudah mereka kenal yaitu ‘waita’ artinya "bergerak bersama sambil teriak" dalam suatu pekerjaan yang mereka lakukan, entah membuat perahu, entah memindahkan balok-balok kayu dari hutan ke rumah mereka dengan berjalan kaki, entah bersama pergi kekebun. Latarbelakang ‘waita’ ini adalah perang suku yang sering terjadi baik diantara mereka sendiri maupun melawan suku lain. Perang ini biasanya akan berakhir setelah sekelompok ibu-ibu dengan bertelanjang dada, maaf, menggoyang dan memutar buah dada mereka, persis berada diantara kedua belah pihak yang sedang berperang. Semua anak panah mulai diturunkan, busur disimpan, tidak boleh ada yang melempar tombak lagi, ibu-ibu mulai menari diantara kedua kelompok yang berperang. Tarian ibu-ibu itu disebut ‘ama waine’ (‘ama’ artinya buah dada atau susu, sedangkan ‘waine’ artinya tari; tari susu), tari perdamaian.

Suatu kekayaan budaya yang luarbiasa besar manfaatnya bagi saya untuk memulai menanamkan semangat ‘compania’ dan ‘kerja’. Inilah yang saya maksudkan dengan mencari relevansi budaya dengan jiwa dan hidup kita demi masa depan dan perjuangan menghadapi kemajuan jaman. ‘Compania’ orang-orang suku Mee bisa menjadi alat bagi Tuhan untuk membebaskan mereka dari keterasingan. Dengan jiwa compania itu kiranya Serikat mampu menanamkan arti dan maknanya harus belajar sejak mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak (TK). Oleh sebab itu, oleh seorang bruder yang menemani saya, pada tahun 1999 telah dirintis di Waghete sebuah TK yang diberi nama ‘KOMUGAI’. Juga bagi para orangtua yang memasukan anaknya ke TK tersebut diajak untuk bercocoktanam di kebun sekitar pastoran. Kita selalu diingatkan bahwa tanah Papua adalah milik kita, dan diatas tanah ini kita hidup dan dihidupi. Mari kita kerja bersama demi masa depan suku Mee.

TK Komugai, Waghete (photo: www.provindo.org)

Ada sebuah nyanyian yang sangat menyentuh :

"kalau Jesus tidak mati kita tidak makan .. kalau Jesus tidak mati kita tidak hidup … kalau kita tidak kerja kita tidak makan … kalau kita tidak belajar kita tidak hidup"
Nyanyian ini biasanya dinyanyikan pada saat missa untuk mengiringi persembahan. Tarian susu dan tarian koteka (menggerakkan koteka, yang dipakai kaum laki-laki, naik turun) bersama-sama dilakukan didalam gereja yang sangat sederhana (terbuat dari kayu – tak ada gereja yang dari semen dan batu). Kini, arti dari tarian susu adalah Tuhan memberi hidup penuh damai bagaikan seorang ibu menyusui anak-anaknya, sedangkan tarian koteka yang menutupi penis alat kelamin laki-laki, punya arti dari sanalah aku hidup … syukur kepadaNya bahwa kita ikut berpartisipasi dalam karya penciptaan Allah.

Rasa cinta akan suku Mee semakin tumbuh dan berkembang dalam hidupku. Semangat ‘compania’ pada diri mereka dan mau bekerja keras dengan penuh kedamaian, terukir dan terpahat dalam-dalam dilubuk hatiku. Apakah ‘compania’ diantara para anggota serikat Jesus juga benar-benar telah menjadi sarana kerasulan mereka? Ataukah kami sebagai anggota serikat Jesus beranggapan bahwa ‘compania’ hanya sebagai nama besar yang hanya dapat dirasakan pada jaman St Ignatius masih hidup 451 tahun yang lalu?

Komugaibii

Nama TK di Waghete ‘komugai’, yang artinya daur ulang. Nama itu akhirnya diberikan kepadaku oleh kaum tua-tua adat disana. Kini namaku, Albertus Eddy Komugaibii Anthony. Aku tak ingin disebut sebagai budayawan atau lebih lagi sebagai pejuang keadilan dan perdamaian bagi orang-orang tertinggal dan ditinggalkan diantara suku Mee dipedalaman Papua. Ketahuilah bahwa Komugaibii adalah sesuatu yang sudah tak berguna, tak bisa dipakai untuk apapun, tak layak disimpan dan hanya satu-satunya jalan dibuang …. Atau di daur ulang. Bagiku mungkin lebih tepat ‘daur ulang’ – harus mengalami pertobatan … dan mestinya setiap Jesuit memiliki semangat yang sama dengan semangat pendiri Bapa St. Ignatius.

Coba Anda tengok kembali tulisan ‘perkenalan’ siapa St Ignatius pendiri Serikat Jesus yang telah dipaparkan oleh Frater Augustinus Widyaputranto SJ, dengan panjang lebar dan amat sederhana dan jelas, bahwa pada masa muda Ignatius sebagai titik balik hidupnya menjadi sahabat Jesus adalah pertobatannya.

Komugaibii seminggu sekali duduk bersama mengelilingi tungku sambil makan ketela rambat dan ikan danau Tigi, mensharingkan, membagikan, pengalaman hidupnya bagi siapa saja yang mau mengenal spiritualitas kristiani. Duduk disekitar tungku bukan saja monopoli milik suku Mee, namun bagi kita umat manusia seharusnya mau berbagi rasa, berbagi ilmu pengetahuan dan talenta kepada sesama. Masih adakah kebiasaan duduk bersama, saling mendengarkan, sama-sama sebagai manusia ciptaanNya, bukan yang banyak pasti menang yang lemah pasti kalah. Wahai … orang-orang suku Mee, mari duduk bersama disekitar tungku dan altar Tuhan, berbagi rasa dan pengalaman, untuk bisa terbebaskan dari penderitaan batinmu lantaran tak bisa ‘bertanding’ menghadapi kemajuan jaman. Dengan airmata dan keringat dan dengan Tubuh dan DarahNya …mari kita berjuang agar kita semakin menjadi manusia sejati – MEE.

Salam Koteka (KObarkan TEkad KAmu)

(Bersambung)


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy