Dalam seri tulisan ini, Pater Eddy, membagikan kepada kita bagaimana berinteraksi, memahami budaya setempat dan meningkatkan harkat hidup lewat pendidikan juga tidak luput dari concern beliau terhadap masyarakat papua. Dari sini Pater Eddy bercerita soal bagaimana memperkenalkan nilai-nilai dan spiritualitas kristiani kepada masyarakat papua. Dari cerita beliau di bawah ini, kita akan melihat betapa spiritualitas ignasian betul-betul dicoba dihayati sungguh oleh Pater Eddy dalam perjuangan beliau di tengah suku asli papua. Jangan lupa, silakan tuliskan kesan, dukungan atau doa-doa anda kepada Pater Eddy dalam kolom "comment". Selamat menikmati
Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku (bagian ke-3)
Compania et Labora
St Ignatius mengumpulkan teman-temannya dan menamakan diri kelompoknya dengan nama Compania de Jesus, artinya sahabat-sahabat Yesus. Dengan persahabatan diantara anggotanya, Serikat menjalankan tugas perutusannya. Semangat ini mendasari tugas perutusanku diantara suku Mee.
Saya harus berusaha mencari kesepadanan dengan spiritualitas suku Mee agar tugasku efektif dalam mendampingi mereka. Saya menemukan spiritualitas hidup mereka yang sudah mereka kenal yaitu ‘waita’ artinya "bergerak bersama sambil teriak" dalam suatu pekerjaan yang mereka lakukan, entah membuat perahu, entah memindahkan balok-balok kayu dari hutan ke rumah mereka dengan berjalan kaki, entah bersama pergi kekebun. Latarbelakang ‘waita’ ini adalah perang suku yang sering terjadi baik diantara mereka sendiri maupun melawan suku lain. Perang ini biasanya akan berakhir setelah sekelompok ibu-ibu dengan bertelanjang dada, maaf, menggoyang dan memutar buah dada mereka, persis berada diantara kedua belah pihak yang sedang berperang. Semua anak panah mulai diturunkan, busur disimpan, tidak boleh ada yang melempar tombak lagi, ibu-ibu mulai menari diantara kedua kelompok yang berperang. Tarian ibu-ibu itu disebut ‘ama waine’ (‘ama’ artinya buah dada atau susu, sedangkan ‘waine’ artinya tari; tari susu), tari perdamaian.
TK Komugai, Waghete (photo: www.provindo.org)
"kalau Jesus tidak mati kita tidak makan .. kalau Jesus tidak mati kita tidak hidup … kalau kita tidak kerja kita tidak makan … kalau kita tidak belajar kita tidak hidup"
Rasa cinta akan suku Mee semakin tumbuh dan berkembang dalam hidupku. Semangat ‘compania’ pada diri mereka dan mau bekerja keras dengan penuh kedamaian, terukir dan terpahat dalam-dalam dilubuk hatiku. Apakah ‘compania’ diantara para anggota serikat Jesus juga benar-benar telah menjadi sarana kerasulan mereka? Ataukah kami sebagai anggota serikat Jesus beranggapan bahwa ‘compania’ hanya sebagai nama besar yang hanya dapat dirasakan pada jaman St Ignatius masih hidup 451 tahun yang lalu?
Komugaibii
Nama TK di Waghete ‘komugai’, yang artinya daur ulang. Nama itu akhirnya diberikan kepadaku oleh kaum tua-tua adat disana. Kini namaku, Albertus Eddy Komugaibii Anthony. Aku tak ingin disebut sebagai budayawan atau lebih lagi sebagai pejuang keadilan dan perdamaian bagi orang-orang tertinggal dan ditinggalkan diantara suku Mee dipedalaman Papua. Ketahuilah bahwa Komugaibii adalah sesuatu yang sudah tak berguna, tak bisa dipakai untuk apapun, tak layak disimpan dan hanya satu-satunya jalan dibuang …. Atau di daur ulang. Bagiku mungkin lebih tepat ‘daur ulang’ – harus mengalami pertobatan … dan mestinya setiap Jesuit memiliki semangat yang sama dengan semangat pendiri Bapa St. Ignatius.
Coba Anda tengok kembali tulisan ‘perkenalan’ siapa St Ignatius pendiri Serikat Jesus yang telah dipaparkan oleh Frater Augustinus Widyaputranto SJ, dengan panjang lebar dan amat sederhana dan jelas, bahwa pada masa muda Ignatius sebagai titik balik hidupnya menjadi sahabat Jesus adalah pertobatannya.
Komugaibii seminggu sekali duduk bersama mengelilingi tungku sambil makan ketela rambat dan ikan danau Tigi, mensharingkan, membagikan, pengalaman hidupnya bagi siapa saja yang mau mengenal spiritualitas kristiani. Duduk disekitar tungku bukan saja monopoli milik suku Mee, namun bagi kita umat manusia seharusnya mau berbagi rasa, berbagi ilmu pengetahuan dan talenta kepada sesama. Masih adakah kebiasaan duduk bersama, saling mendengarkan, sama-sama sebagai manusia ciptaanNya, bukan yang banyak pasti menang yang lemah pasti kalah. Wahai … orang-orang suku Mee, mari duduk bersama disekitar tungku dan altar Tuhan, berbagi rasa dan pengalaman, untuk bisa terbebaskan dari penderitaan batinmu lantaran tak bisa ‘bertanding’ menghadapi kemajuan jaman. Dengan airmata dan keringat dan dengan Tubuh dan DarahNya …mari kita berjuang agar kita semakin menjadi manusia sejati – MEE.
Salam Koteka (KObarkan TEkad KAmu)
(Bersambung)
0 comments:
Posting Komentar