Rabu, 11 Juni 2008

Pendidikan Ignasian di Kolese Jesuit dan Tantangannya (hanya sebuah catatan ringan)

Berbicara soal karya dan keterlibatan Jesuit di dalam pendidikan secara khusus di kolese-kolese SJ, saya selalu teringat akan ungkapan Pater Pedro Ribadeneira, SJ dalam suratnya kepada Raja Philip II yang menerangkan tentang tujuan karya pendidikan Jesuit, dengan ekspresi yang sangat menarik: "Institutio Puerorum, Reformatio Mundi" yang artinya kurang lebih "pendidikan yang baik bagi kaum muda merupakan usaha baik untuk mengubah dunia".

Mengubah dunia? mereformasi dunia? mungkin akan terdengar agak tendensius bila dalam skala mikro kita menempatkan pendidikan Jesuit atau dalam hal ini pendidikan di kolese-kolese Jesuit sebagai usaha untuk mereformasi dunia, tapi dalam bahasa dan perspektif Latihan Rohani Santo Ignatius, ungkapan ini merupakan sebuah ungkapan yang sangat bisa dipahami.

Kolese menjadi sebuah lembaga pendidikan Jesuit yang khas bukan pertama-tama hanya soal excellence dalam arti keunggulan akademis tetapi sejauh mana pendidikan kolese sungguh bisa menggerakkan dan mengajak banyak orang yang belajar di dalamnya untuk melihat realitas dirinya dan juga realitas lingkungan sekitarnya (masyarakat, budaya, keadilan dan dialog antar umat beriman) dalam perspektif yang lebih luas dan bertanggungjawab. Di sinilah letak penting dan ciri khas sebuah institusi pendidikan bisa disebut sebagai institusi pendidikan Jesuit. Kolese Jesuit tidak menjadi lebih Jesuit hanya karena disitu ada Jesuit yang bekerja di dalamnya tetapi sejauh mana nilai-nilai dan semangat spiritualitas Ignasian dan Latihan Rohani sungguh-sungguh bisa diterjemahkan dan menjadi inspirasi dalam setiap kegiatan yang ada di dalamnya. Pater Jendral Jesuit Adolfo Nicolas, SJ mengatakan dengan sangat tajam : "In education, we make people different...... Our Schools are not competitors for top schools, but to make people who look differently at reality and at themselves"

Merupakan sebuah fenomena menarik bahwa di banyak kolese Jesuit di Indonesia dewasa ini baik pada guru dan murid kolese mulai akrab dengan banyak istilah dan perspektif pendidikan dan spiritualitas Ignasian. Di bulan-bulan pertama terlibat di Kolese Loyola Semarang, saya pribadi melihat bahwa memang pengenalan nilai dan semangat Ignasian ini merupakan sebuah usaha untuk penanaman nilai atau merupakan sebuah pendekatan pendidikan yang berorientasi nilai. Banyak siswa dan guru yang tahu apa itu "magis", "ad maiorem dei gloriam", "discretio". Menarik pula untuk memperhatikan bahwa misalnya saja untuk proses inisiasi/orientasi siswa baru tahun ajaran mendatang ini Kolese Loyola mengambil tema "discretio". Tentunya ini sebuah langkah maju bahwa dalam awal-awal masa inisiasi, siswa baru sudah mendapat tawaran untuk mengenal dan mendalami nilai-nilai Ignasian yang sangat relevan lebih-lebih dalam masa remaja dimana soal mengambil keputusan, menimbang-nimbang dan berpendapat secara jujur dan tulus merupakan sebuah isu penting dalam dinamika mereka. Tim guru dan siswa (orator) pun mempersiapkan dinamika kegiatan yang berbasis pada tema besar ini.

Namun demikian, pendidikan Ignasian model kolese-kolese Jesuit ini bukannya tanpa tantangan. Dari pertemuan dan interaksi saya yang baru beberapa bulan ini dengan banyak orang seperti orangtua murid, guru-guru, alumni, karyawan, warga sekitar Kolese Loyola, mantan orangtua murid seringkali saya menangkap bahwa konsep pendidikan acapkali dipahami secara berbeda. Atas nama kompetisi seringkali banyak orangtua mengharapkan kolese Jesuit seperti Loyola lebih mengedepankan excellence dibandingkan sisi lain dari pendidikan Ignasian. Tidak sedikit orangtua siswa yang senang bila kolese Jesuit selalu ikut lomba sana-sini dan apalagi bila anaknya selalu berpartisipasi. Yang lain mengukur kesuksesan sekolah Jesuit hanya dari berapa yang diterima di Universitas tertentu di luar negeri. Dari pihak siswa, rasanya soal pendidikan nilai ini hanya kandas sampai di level kognitif. Berapa banyak siswa Loyola yang mencontek? berapa yang benar-benar mengerjakan PR sendiri? Berapa yang lebih sering bicara jujur? Dari mini-survey yang saya buat, data mentah yang ada cenderung untuk mendeskripsikan sebuah kenyataan yang kurang menggembirakan. Tidak sedikit siswa yang berpikir soal nilai yang baik dan bukan bagaimana cara meraihnya. Slogan "Competence-Conscience-Compassion" agaknya menjadi slogan kosong dan ompong di tengah realitas mentalitas "jalan pintas" dan "busuk" (koruptif) dalam berbagai macam derivasi dan jenisnya di kolese Jesuit. Di sisi lain pula, tidak jarang pola-pola pendidikan tradisional ataupun konservatif masih dipertahankan dan punya "habitat bagus" di dalam dinamika pendidikan di kolese Jesuit. Memprihatinkan bila tentunya mentalitas militerisme, budaya kekerasan, balas dendam masih mewarnai hati dan budi siswa-siswi kolese. Suatu saat saya pernah mendengar ungkapan: "frater, saya kecewa bahwa dulu waktu masa orientasi di jaman saya tidak lagi banyak pendekatan fisik dan kekerasan". Ternyata, tidak sedikit siswa kolese yang bangga bila pernah dibentak-bentak dan disuruh-suruh secara konyol dan dalam lingkaran kekerasan. Tidak sedikit juga yang tanpa sadar mentradisikan ritual dan iklim "kekonyolan" sebagai sebuah proses inisiasi.

Pertanyaannya: sejauh mana pendidikan nilai dan juga pendidikan Ignasian itu bisa menjadi efektif? ataukah realitas yang ada ini sebenarnya harus dibaca sebagai sebuah proses yang menunjukkan pendidikan nilai itu sebenarnya merupakan sebuah proses panjang, dan masa-masa di kolese merupakan saat yang tepat untuk memulainya dan entah kapan kelak akan berbuah.

Saya belum bisa menjawabnya......mungkin cara menjawabnya adalah dengan tetap setia berjalan bersama mereka, menemani dan mendengarkan mereka secara tulus dan tekun.....

There is always HOPE........


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Where is God for You?

Dimanakah Tuhan anda temukan dalam hidup anda setiap hari?

Mungkin benar kalau dikatakan bahwa kualitas hidup kita itu banyak ditentukan oleh sejauh mana kedalaman hidup itu kita alami secara nyata dalam realitas harian kita: sejauh mana nilai, keutamaan dan juga kemanusiaan kita sungguh kita sadari sebagai sebuah bagian yang tak terpisahkan dari hidup. Soalnya adalah bahwa rutinitas hidup, kesibukan dan dinamika relasi hidup kita terkadang menumpulkan kepekaan kita akan hal-hal ini. Sisi spiritualitas semakin terpinggirkan sebagai sisi ritual dan kebiasaan belaka, tetapi di sisi lain banyak orang sekarang ini semakin merindukan kedalaman-kedalaman hidup, mencari nilai hidup dan kebahagiaan sejati, tetapi tidak tahu bagaimana harus mencarinya.

Simaklah video clip berikut ini dari www.bustedhalo.com , sebuah media online untuk kaum muda, yang mau mengajak kita merenung bagaimana kita menemukan dan berkomunikasi dengan Tuhan dalam hidup harian.


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Sabtu, 07 Juni 2008

PROVINSIAL SERIKAT JESUS INDONESIA YANG BARU

Dalam suratnya tertanggal 5 Juni 2008, Pater Jenderal Adolfo Nicolas, SJ telah menunjuk Pater Robertus Bellarminus Riyo Mursanto, SJ sebagai PROVINSIAL SERIKAT JESUS PROVINSI INDONESIA.

Pater RB. Riyo Mursanto, SJ saat ini menjabat sebagai rektor komunitas Jesuit di Kolese Loyola Semarang dan sekaligus menjadi Ketua Yayasan Loyola. Beliau merupakan salah satu Jesuit Indonesia yang berpengalaman dan kompeten dalam bidang pendidikan menengah, dan banyak terlibat dalam pengelolaan sekolah-sekolah Jesuit. Beliau pernah bertugas juga di SMA Kolese Kanisius Jakarta. Saat ini selain terlibat aktif di Loyola, beliau juga menjabat sebagai Direktur PIKA dan Ketua Yayasan Karya Bhakti (ATMI Solo) serta Sekretaris bidang Pendidikan Menengah untuk Serikat Jesus di Kawasan Asia Timur dan Oceania.

Selamat bertugas kepada Pater Riyo atas tugas dan pelayanan yang baru ini.


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Cura Personalis dan Pertanggungjawaban Batin dalam Tradisi Serikat dan Latihan Rohani

PENGANTAR

Dalam beberapa tahun terakhir ini, ada dua dokumen serikat yang bagi saya amat penting untuk dicermati dalam kaitan dengan hidup me-yesuit ataupun spiritualitas Jesuit. Dua dokumen ini adalah surat/tulisan Pater Jendral yaitu soal “Pertanggungjawaban Batin” dan “Cura Personalis”.

Mengapa ini saya anggap penting? Tidak lain karena 2 dokumen ini berbicara soal 2 pilar penting yang saling berhubungan erat dalam spiritualitas Jesuit dalam berbagai dimensi.

Dalam suratnya kepada Major Superiors 21 Februari 2005, Pater Jendral kembali mengingatkan pentingnya “pertanggungjawaban batin” dalam dinamika hidup Serikat Yesus. Surat Pater Jendral ini muncul didorong atas rekomendasi yang dihasilkan kongregasi procurator tahun 2003 yang menyebutkan bahwa tradisi pertanggungjawaban batin yang ada dalam serikat ternyata tidak memberi buah sebagaimana yang diharapkan oleh Santo Ignatius. Dirasakan adanya kecenderungan untuk menganggap tradisi ini sebagai sebuah hal rutin, kewajiban dan formalitas seperti komunikasi antara pimpinan dan anak buah, dianggap “mengganggu privacy” atau menjadi hal yang memalukan ketika harus melakukannya di hadapan pembesar. Dalam dokumen ini Pater Jendral kembali menekankan bahwa tradisi pertanggungjawaban batin merupakan bagian mendasar dari spiritualitas Jesuit dan menjadi titik pijak dinamika hidup kejesuitan kita, baik hidup doa, pribadi maupun kerasulan.

Dokumen kedua adalah “Cura Personalis”. Tulisan Pater Jendral tertanggal 15 Januari 2007 ini memberi penekanan pada dasar dan konteks “cura personalis” dalam spiritualitas Ignasian dan Jesuit. Pater Jendral melihat bahwa cura personalis harus selalu dipandang dalam konteks antara tuntutan kerasulan, semangat magis dan juga hidup rohani/spiritualitas Jesuit. Dalam konteks inilah cura personalis mendapat pemahamannya secara relevan dan mendalam. Pater Jendral pun menggarisbawahi hubungan dan rasa percaya antara superior dengan anggota serikat yang sangat penting dalam cura personalis.

Tentunya, menjadi sangat menarik bagi kita untuk melihat bersama bagaimana kedua dokumen ini menjadi relevan dan actual dalam hidup keyesuitan kita.

Cura Personalis

Pembicaraan tentang cura personalis dalam konteks apapun tentunya tidak dapat dilepaskan dari dinamika Latihan Rohani. Hanya dalam terang Latihan Rohanilah setiap Jesuit akan dapat menimba makna, semangat dan hakikat sesungguhnya dari cura personalis ini. Pater Jendral Kolvenbach dalam tulisannya tentang cura personalis menyebutkan bahwa semangat dan jiwa cura personalis harus selalu digali dan diinspirasikan dari Latihan Rohani no. 22 :

“agar dapat terjalin kerjasama yang lebih baik antara yang memberi latihan dan yang terlatih serta lebih bermanfaat bagi kedua belah pihak, perlu lebih dulu berpedoman bahwa setiap orang kristiani yang baik tentu lebih bersedia membenarkan pernyataan sesamanya daripada mempersalahkannya. Jika tak dapat dimengerti, yang menyatakan hendaklah ditanya apakah yang dimaksudkan; dan jika dia salah hendaklah dibetulkan dengan cinta kasih; dan jika belum cukup hendaklah digunakan segala upaya yang sesuai supaya sampai pada pemahaman yang benar dan dengan demikian dijauhkan dari segala kesalahan”

Tentunya LR.22 ini berbasis pada pengalaman Ignatius sendiri yang mengalami bahwa dalam pejiarahan spiritualnya seseorang ternyata membutuhkan pendampingan dari orang lain, pun bila disadari bahwa hakikat pejiarahan dan dinamika hidup rohani merupakan sesuatu yang sangat personal sekalipun. Lebih jauh lagi, bila kita meneliti apa yang ada dalam annotasi latihan rohani, kita akan semakin menemukan bahwa, walaupun menurut Ignatius pendampingan ini dirasakan diperlukan, beliau menekankan dengan jelas dan tegas agar mereka yang memberikan latihan atau mereka yang mendampingi, harus memiliki sikap hormat kepada yang didampingi, tidak bertele-tele, dan sabar. Dalam tradisi Ignatian disebutkan dengan jelas oleh Pater Jendral, bahwa cura personalis bukanlah sebuah tindakan untuk memberi paham-paham baru, mengkader ataupun mengindoktrinasi ataupun menyampaikan ide-ide pribadi kepada mereka yang didampingi tetapi merupakan sebuah tawaran akan permenungan misteri hidup Kristus kepada orang yang didampingi sehingga mereka bisa merengkuhnya dalam konteks hidup dan pribadi masing-masing.

Ini berarti bahwa dalam cura personalis, Santo Ignatius sungguh menekakan bahwa pihak yang didampingi haruslah tetap memiliki kebebasan dan kemampuan untuk memilih secara bebas dengan cinta kasih dan kemurahan hati atas segala dinamika pejiarahan batin yang dialaminya lewat Latihan Rohani. Mereka yang didampingi perlu dengan terbuka bercerita akan gerakan roh, kecenderungan dan pemikiran yang dialami dalam pejiarahan rohaninya, dan mereka yang mendampingi penting untuk bertanya, meneguhkan ataupun memberikan bantuan lewat spiritual discernment agar gerakan-gerakan batin dan roh yang dialami dapat diteliti dengan seksama demi mencari kehendak Tuhan sendiri. Di sisi lain, mereka yang memberikan cura personalis harus tetap dengan rasa hormat mendampingi dan menghargai pengalaman rohani yang dialami pihak lain, dan dengan rendah hati dan sabar mencoba memahami pengalaman tersebut, membetulkan pemahaman yang keliru supaya pihak yang didampingi dijauhkan dari kesalahan dan ancaman dosa. Mereka yang mendampingi tidak akan bisa memberikan cura personalis apabila yang didampingi tidak mau terbuka untuk menceritakan apa yang dialami, kecenderungan, gerak roh ataupun godaan-godaan yang ada.

Dalam semangat cura personalis yang demikian ini maka akan sangat tepat sekali bila disimpulkan bahwa cura personalis hanya akan bisa berlangsung dan terjadi secara positif dan benar bila berada dalam iklim saling percaya satu sama lain (mutual trust). Pater Kolvenbach dalam ungkapannya yang khas selalu menyebutkan “a trust which is always difficult to win, always easy to lose”. Ini berarti bahwa cura personalis akan berbuah subur bila kedua belah pihak saling terbuka dan berkomunikasi secara otentik satu sama lain atas dasar kepercayaan yang matang. Ignatius selalu menekankan bahwa dibalik semua ini semangat untuk mau mendengarkan dan lebih mau memahami daripada mempersalahkan serta kehendak yang baik harus menjadi dasar yang kokoh dalam cura personalis (LR.22).

Secara mendasar, cura personalis sebenarnya merupakan sebuah cara bertindak bagi setiap Jesuit dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Lebih jauh lagi ini berarti bahwa relasi terbuka dan saling percaya yang terjalin di dalam cura personalis sebenarnya bukanlah sekedar sebuah relasi yang timbal balik dan komunikatif tetapi merupakan sebuah relasi yang berada dalam sebuah keinginan dan cita-cita luhur untuk mencari kehendak Tuhan dan berjiarah bersamaNya. Secara ringkas bisa disebutkan bahwa inti dari cura personalis adalah bantuan, pendampingan dari pribadi ke pribadi sehingga dengan demikian Tuhan dan manusia dapat bertemu dan mencapai kepenuhannya di dalam Tuhan sendiri, ad Maiorem Dei Gloriam.

Pertanggungajawaban Batin

Dalam pengalaman Ignatius, pertanggungjawaban batin merupakan sesuatu yang sangat esensial dan merupakan sebuah instrument yang vital dalam hidup apostolis serikat. Pertanggungjawaban batin ini diperlukan agar masing-masing pribadi tidak tersesat dalam pelayanan misi serikat, dan menurut Ignatius, tiap anggota serikat perlu menyatakan dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya kepada superior yang akan menyatakan kepada yang bersangkutan kehendak Tuhan ketika memutuskan untuk mengirimkan anggota serikat tersebut untuk sebuah misi. Yang menjadi pokok penting dalam pertanggungjawaban batin ini adalah kehendak untuk mengintegrasikan bakat-bakat pribadi ke dalam misi universal Serikat.

Pertanggungjawaban batin dalam serikat tidaklah sekedar menyangkut apa yang ada di dalam batin kita tetapi lebih merupakan sebuah ungkapan ekspresi total sebagai pribadi, menyangkut relasi kita dengan Tuhan, berkaitan dengan perkembangan diri, dengan komunitas, dengan keluarga dan juga berkaitan dengan tanggungjawab apostolis kita serta semua orang yang terlibat di dalamnya. Pertanggungjawaban batin adalah sebuah komunikasi antara anggota serikat dengan superior dalam konteks misi serikat dalam nama Kristus sendiri. Ini berarti bahwa mencari kehendak Tuhan dalam misi serikat merupakan sesuatu yang esensial dan mendasar dalam setiap pertanggungjawaban batin (NP. 150 art. 1). KJ 32 dengan jelas menunjukkan bahwa semakin pertanggungjawaban batin yang otentik dilakukan oleh setiap anggota serikat maka dengan demikian serikat sebagai tubuh akan lebih otentik pula dalam mencari kehendak Tuhan.

Pertanggungjawaban batin bukanlah percakapan antar sahabat (Kons. 93). Lebih tajam, konstitusi menunjukkan bahwa pertanggungjawaban batin haruslah dilakukan dalam semangat kerendahan hati yang besar, keterbukaan dan juga cinta kasih.

Pater Jendral memberi catatan khusus berkaitan dengan soal keterbukaan. Harus diakui bahwa keterbukan atau transparansi menuntut kemauan dari setiap Jesuit untuk mengorbankan apa yang disebut orang kebanyakan sebagai sebuah privacy. Di sisi yang lain Pater Jendral menunjukkan bahwa di berbagai budaya keterus terangan bukanlah sesuatu yang nyaman dan mengenakkan. Dengan hormat kepada keragaman budaya, Pater Jendral mengingatkan bahwa kemampuan dan kepekaan untuk menangkap apa yang dikatakan lewat ungkapan kiasan, bahasa tubuh dan juga symbol ataupun lewat cara implisit lainnya haruslah dimiliki oleh superior, karena seringkali berbicara to the point dan terus terang bukanlah kebiasaan yang universal.

Sama seperti dalam konteks cura personalis, pertanggungjawaban batin haruslah dilakukan dengan rasa percaya dan juga penuh kerahasiaan (confidential). Kerahasiaan ini diperlukan bukan pertama-tama untuk menciptakan rasa percaya tetapi merupakan sebuah ungkapan bahwa pertanggungjawaban batin merupakan hal yang sangat penting dan bukanlah melulu sesuatu yang rutin atau kegiatan tahunan belaka. Ignatius sendiri menempatkan pertanggugjawaban batin sebagai sesuatu hal yang agung dan dengan sikap hormat yang besar. Hal ini mengindikasikan bahwa hal-hal yang berkaitan pengiriman seorang Jesuit ke misi atau tugas perutusan merupakan sebuah urusan yang serius dan penting dalam gerak serikat dan bukan cuma sekedar “membuat sibuk” anggota serikat.

Santo Ignatius mengharapkan bahwa mereka yang mengirim anggota serikat ke medan perutusan hendaknya dengan serius mempertimbangkan hal-hal yang lebih membawa kemuliaan Tuhan yang lebih besar bagi mereka yang dikirim. Seorang superior harus memberi informasi yang cukup tentang tugas dan misi perutusan yang diberikannya kepada seseorang dan bagaimana, sebagai superior, dia menginginkan tugas tersebut dilakukan meskipun mereka yang dikirim tidak selalu harus tahu tentang alasan penugasannya tersebut.

Seorang superior harus bertanggungjawab untuk terjadinya pertanggungjawaban batin bagi setiap anggota serikat yang dipercayakan kepadanya. Pertanggungjawaban batin harus menjadi prioritas utama bagi seorang superior ketika mengagendakan jadwal tahunannya, dan dia harus memastikan bahwa setiap anggota bisa memiliki kesempatan untuk melakukan pertanggungjawaban batin ini.

Bagi mereka yang dikirim dalam tugas perutusan, Ignatius menekankan agar mereka dengan tulus melakukan pertanggungjawaban batin agar proses discernment dan juga pencarian kehendak Tuhan bisa terjadi secara otentik dan dalam kesatuan hati dan budi yang utuh dan sejati. Pater Jendral menggarisbawahi bahwa pertanggungjawaban batin bukanlah melulu soal situasi kerasulan atau kerja tetapi merupakan sebuah tugas perutusan secara utuh yang menyangkut hidup doa, kerasulan, komunitas, hidup sosial, kesehatan, keinginan masa depan dan juga keinginan-keinginan lainnya. Pater Arrupe sendiri dengan tegas pernah menyatakan bahwa beliau tidak puas bila pertanggungjawaban batin hanyalah sekedar laporan tentang situasi kerja ataupun aktivitas seorang Jesuit ataupun malah merupakan laporan atas aktivitas dan juga kelemahan tentang Jesuit yang lain. Pertanggungjawaban batin tidaklah sama dengan wawancara antara direktur perusahaan dengan anak buahnya, pun bukan sebuah percakapan layaknya dilakukan terhadap pembimbing rohani. Pertanggungjawaban batin haruslah dilakukan dalam semangat ketaatan sehingga dengan demikian yang bersangkutan bisa dihindarkan dari bahaya melakukan pekerjaan kerasulan dengan cara sebagaimana dia inginkan dan bukan dalam semangat kebersamaan dan ketaatan dalam mengemban misi serikat.

Pertanyaan Reflektif:

Sejauh mana pola relasi kita antar sesama Jesuit, di dalam komunitas Jesuit dan juga dengan mereka yang bekerja bersama kita didasarkan pada semangat cura personalis yang mengacu pada LR. 22? Secara real kita bisa merenungkan bagaimana kebiasaan kita menghadapi konflik, perbedaan ataupun juga dalam menghadapi kabar-kabar tidak sedap yang melibatkan rekan Jesuit di provinsi?

Sejauh mana pertanggungjawaban batin kita dengan pimpinan serikat merupakan sebuah proses yang dilandasi semangat pertanggungjawaban batin yang benar dalam konteks misi dan semangat konstitusi serikat?

Merenungkan cura personalis dan pertanggungjawaban batin yang merupakan 2 pilar penting dalam hidup Jesuit. Dalamm kaitan itu, apakah trust dan juga persaudaraan sebagai sahabat dalam Tuhan itu benar-benar tumbuh di dalam provinsi? Sejauh mana kesadaran akan semangat ketaatan dalam konteks pertanggungjawaban batin dalam gerak kerasulan serikat sungguh menghidupi pola relasi kita dengan superior?

Sejauh mana Latihan Rohani dan juga Konstitusi serikat masih menjadi pijakan dan inspirasi buat segala cara bertindak kita di provinsi secara nyata? Apakah benar ada indikasi bahwa kita sudah terlalu sibuk dan ada tendensi untuk melupakan dan tidak setia lagi pada Latihan Rohani dan Konstitusi?


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy