Berbicara soal karya dan keterlibatan Jesuit di dalam pendidikan secara khusus di kolese-kolese SJ, saya selalu teringat akan ungkapan Pater Pedro Ribadeneira, SJ dalam suratnya kepada Raja Philip II yang menerangkan tentang tujuan karya pendidikan Jesuit, dengan ekspresi yang sangat menarik: "Institutio Puerorum, Reformatio Mundi" yang artinya kurang lebih "pendidikan yang baik bagi kaum muda merupakan usaha baik untuk mengubah dunia".
Mengubah dunia? mereformasi dunia? mungkin akan terdengar agak tendensius bila dalam skala mikro kita menempatkan pendidikan Jesuit atau dalam hal ini pendidikan di kolese-kolese Jesuit sebagai usaha untuk mereformasi dunia, tapi dalam bahasa dan perspektif Latihan Rohani Santo Ignatius, ungkapan ini merupakan sebuah ungkapan yang sangat bisa dipahami.
Kolese menjadi sebuah lembaga pendidikan Jesuit yang khas bukan pertama-tama hanya soal excellence dalam arti keunggulan akademis tetapi sejauh mana pendidikan kolese sungguh bisa menggerakkan dan mengajak banyak orang yang belajar di dalamnya untuk melihat realitas dirinya dan juga realitas lingkungan sekitarnya (masyarakat, budaya, keadilan dan dialog antar umat beriman) dalam perspektif yang lebih luas dan bertanggungjawab. Di sinilah letak penting dan ciri khas sebuah institusi pendidikan bisa disebut sebagai institusi pendidikan Jesuit. Kolese Jesuit tidak menjadi lebih Jesuit hanya karena disitu ada Jesuit yang bekerja di dalamnya tetapi sejauh mana nilai-nilai dan semangat spiritualitas Ignasian dan Latihan Rohani sungguh-sungguh bisa diterjemahkan dan menjadi inspirasi dalam setiap kegiatan yang ada di dalamnya. Pater Jendral Jesuit Adolfo Nicolas, SJ mengatakan dengan sangat tajam : "In education, we make people different...... Our Schools are not competitors for top schools, but to make people who look differently at reality and at themselves"
Merupakan sebuah fenomena menarik bahwa di banyak kolese Jesuit di Indonesia dewasa ini baik pada guru dan murid kolese mulai akrab dengan banyak istilah dan perspektif pendidikan dan spiritualitas Ignasian. Di bulan-bulan pertama terlibat di Kolese Loyola Semarang, saya pribadi melihat bahwa memang pengenalan nilai dan semangat Ignasian ini merupakan sebuah usaha untuk penanaman nilai atau merupakan sebuah pendekatan pendidikan yang berorientasi nilai. Banyak siswa dan guru yang tahu apa itu "magis", "ad maiorem dei gloriam", "discretio". Menarik pula untuk memperhatikan bahwa misalnya saja untuk proses inisiasi/orientasi siswa baru tahun ajaran mendatang ini Kolese Loyola mengambil tema "discretio". Tentunya ini sebuah langkah maju bahwa dalam awal-awal masa inisiasi, siswa baru sudah mendapat tawaran untuk mengenal dan mendalami nilai-nilai Ignasian yang sangat relevan lebih-lebih dalam masa remaja dimana soal mengambil keputusan, menimbang-nimbang dan berpendapat secara jujur dan tulus merupakan sebuah isu penting dalam dinamika mereka. Tim guru dan siswa (orator) pun mempersiapkan dinamika kegiatan yang berbasis pada tema besar ini.
Namun demikian, pendidikan Ignasian model kolese-kolese Jesuit ini bukannya tanpa tantangan. Dari pertemuan dan interaksi saya yang baru beberapa bulan ini dengan banyak orang seperti orangtua murid, guru-guru, alumni, karyawan, warga sekitar Kolese Loyola, mantan orangtua murid seringkali saya menangkap bahwa konsep pendidikan acapkali dipahami secara berbeda. Atas nama kompetisi seringkali banyak orangtua mengharapkan kolese Jesuit seperti Loyola lebih mengedepankan excellence dibandingkan sisi lain dari pendidikan Ignasian. Tidak sedikit orangtua siswa yang senang bila kolese Jesuit selalu ikut lomba sana-sini dan apalagi bila anaknya selalu berpartisipasi. Yang lain mengukur kesuksesan sekolah Jesuit hanya dari berapa yang diterima di Universitas tertentu di luar negeri. Dari pihak siswa, rasanya soal pendidikan nilai ini hanya kandas sampai di level kognitif. Berapa banyak siswa Loyola yang mencontek? berapa yang benar-benar mengerjakan PR sendiri? Berapa yang lebih sering bicara jujur? Dari mini-survey yang saya buat, data mentah yang ada cenderung untuk mendeskripsikan sebuah kenyataan yang kurang menggembirakan. Tidak sedikit siswa yang berpikir soal nilai yang baik dan bukan bagaimana cara meraihnya. Slogan "Competence-Conscience-Compassion" agaknya menjadi slogan kosong dan ompong di tengah realitas mentalitas "jalan pintas" dan "busuk" (koruptif) dalam berbagai macam derivasi dan jenisnya di kolese Jesuit. Di sisi lain pula, tidak jarang pola-pola pendidikan tradisional ataupun konservatif masih dipertahankan dan punya "habitat bagus" di dalam dinamika pendidikan di kolese Jesuit. Memprihatinkan bila tentunya mentalitas militerisme, budaya kekerasan, balas dendam masih mewarnai hati dan budi siswa-siswi kolese. Suatu saat saya pernah mendengar ungkapan: "frater, saya kecewa bahwa dulu waktu masa orientasi di jaman saya tidak lagi banyak pendekatan fisik dan kekerasan". Ternyata, tidak sedikit siswa kolese yang bangga bila pernah dibentak-bentak dan disuruh-suruh secara konyol dan dalam lingkaran kekerasan. Tidak sedikit juga yang tanpa sadar mentradisikan ritual dan iklim "kekonyolan" sebagai sebuah proses inisiasi.
Pertanyaannya: sejauh mana pendidikan nilai dan juga pendidikan Ignasian itu bisa menjadi efektif? ataukah realitas yang ada ini sebenarnya harus dibaca sebagai sebuah proses yang menunjukkan pendidikan nilai itu sebenarnya merupakan sebuah proses panjang, dan masa-masa di kolese merupakan saat yang tepat untuk memulainya dan entah kapan kelak akan berbuah.
Saya belum bisa menjawabnya......mungkin cara menjawabnya adalah dengan tetap setia berjalan bersama mereka, menemani dan mendengarkan mereka secara tulus dan tekun.....
There is always HOPE........
2 comments:
Arah tujuan pra putra.. Murni, penuh susila.. Mengabdi bangsa, karena Tuhan..
amdg!
haloo..kapan pulang liburan dan mampir ke LC nih?
Posting Komentar