Dalam seri ini, Pater Eddy membagikan kepada kita bahwa tempat baru selalu penuh tantangan yang kadang membuat hati kecut dan nyali luluh. Namun dengan kesetiaan dan keberanian yang tangguh Pater Eddy sampai juga di Yap Islands dan bergelut dengan suka duka karya di sana: berjuang seorang diri, menyelami budaya Yapese dan sekaligus menjadi semakin dekat kepada Allah sendiri dan meneguhkan panggilan imamat dan Jesuitnya. Kisah berikut ini sungguh dinamis, dan membuat kita bisa termenung mengambil inspirasi dari pengalaman Pater Eddy ini. Selamat menikmati.
****
Perspektif Ignatian Dalam Karya Perutusanku (bagian ke-5)
P. Eddy Anthony, SJAnima Christi
Dari paroki St Yohanes Pemandi di Waghete kini aku harus pindah ke St Joseph’s Parish, di Gagil, Yap, Federated States of Micronesia (FSM). Dari pedalaman di ketinggian 2000 m diatas permukaan laut menuju ke sebuah pulau yang amat kecil di tengah lautan Pasific , jauh ke arah sebelah utara Papua. Siap diutus ke Papua untuk menolong jiwa-jiwa, kini jiwaku sendiri mulai tergoncang, dan ragu-ragu. Berangkat ke Yap dengan sebuah pertanyaan : siap sediakah aku diutus kesana? Aku tak mampu berbahasa Inggris, dan aku harus belajar bahasa Yapese, menyesuaikan diri dengan budaya Yapese.
Peta Kepulauan Yap di Lautan Pasific.
Butuh ketelitian untuk mencari letaknya via Google Earth
Ternyata jiwaku masih rapuh, integrasi hidup rohaniku selama penggemblengan di wilayah pedalaman belum benar-benar nyata dan terwujud ketika harus dihadapkan pada disponibilitas, yaitu siap sedia bagi tugas perutusan yang baru. Aku mulai berdoa ‘Anima Christi’ sebuah doa yang paling favorit bagi St Ignatius Loyola.
“Jesus … Best Friend, may your soul give life to me, may your flesh be food for me, may you warm my hardened heart”.
Ada beberapa teman Jesuit yang bertanya padaku: Apakah kamu siap sedia ke Yap, untuk apa sih kamu kesana? Benar sekali pertanyaan itu, kadang aku harus berteriak seperti Jesus berkata kepada Bapa: Eli, Eli, lama sabaktani. Bapa, kenapa aku kau biarkan sendirian? Tak ada sapaan, tak ada ‘say hello’ dari teman di tanah air. Memang tidak semua tahu aku dimana, Yap itu letaknya dimana. Hanya ada beberapa gelintir teman sesama anggota Serikat Jesus yang menyemangati tugasku di Yap antara lain dengan membantuku dalam berbahasa Inggris. Juga ada seorang Jesuit Yapese yang mulai mengajari saya berbahasa Yap, mengenal keadaan Yap dan orang-orangnya..
17 Agustus 2005
Bagi bangsaku tanggal 17 Agustus adalah hari bersejarah, demikian juga bagi diriku. Hari itu pertama kali aku mendarat di Yap. Saya bayangkan seperti di Waghete, banyak orang akan menyambutku. Ternyata keliru, hanya seorang Jesuit meyambutku dan memberiku kalungan bunga. Dialah Apolinaris Thall, SJ, yang pada hari-hari selanjutnya memperkenalkan seluk beluk Paroki St Joseph, di Gagil. Dia memberiku: kunci mobil, senter, kitab suci berbahasa Yapese dan sejumlah kunci (kotak surat kantor pos, pastoran, dan gereja). Kami berdua saling mengenal dan belajar, terutama bagi saya, rasanya seperti anak TK dari Komugai di Waghete. Cocok sekali namaku Komugaibii, bukan?
Kehendak Tuhan tak dapat kita tawar-tawar lagi, dan saya percaya kehendakNya tak akan membuat kita menderita. Hanya ada satu soal: Mengapa itu terjadi? Pater Apolinaris hanya kurang dari 15 hari menemani aku. Dia dipanggil Tuhan untuk menghadapNya di surga pada tanggal 4 September 2005, dalam usia yang ke 55 tahun. Oleh sebab itu seorang Jesuit dari Outer Islands, yang menjadi pastor Paroki St Ignatius disana, dipindahkan di Colonia, Yap, sebagai ‘acting’ pastor paroki St Mary, menggantikan A. Thall. Selanjutnya hari-hari penuh perjuangan dan tantangan mulai saya jalani di paroki desa terpencil, sepi seorang diri, pastoran terletak di pinggir samudra, hanya sekitar empat meter dari bibir pantai. Hari-hari pertama membayangkan bagaimana kalau terjadi tsunami kayak di Aceh. Tiap saat terdengar suara ombak jlegar jlegur dari ruang kerjaku…
Pastoran Paroki Yap di pinggir laut (photo: dok.pribadi Pater Eddy)
Missa pertama
Misa pertama dalam bahasa Inggris, sedangkan nyanyian, doa, bacaan kitab suci menggunakan bahasa Yapese, kami adakan di Gagil. Pada awal missa, saya berkata, bahwa kalau ada kesalahan ucapan, kalimat dan kata-kata dalam bhs Inggris dan Yapese, mohon dicatat dan dihitung, berapa banyak kesalahan yang saya buat. Kemudian sesudah missa, pada saat sesudah pengumuman gereja dibacakan, saya mulai bertanya:
"berapa kesalahan yang kalian temukan pada diriku?
“Nothing”, Jawab mereka.
"Lho piye tha iki. Ah yang bener aje," aku mulai protes.
Teringat olehku akan St Ignatius ketika pertama kali merayakan missa dalam bahasa Italia, sebelum misa, beliau berkata bahwa kalau ada kesalahan tolong dicatat. Beliau merasa bahwa ada banyak kesalahan yang dilakukannya, namun orang-orang berkata:
"bukan kata dan ucapan yang penting bagi kami melainkan kehadiran Allah dalam perayaan Ekaristi yang memberi kami damai"
Mulai dari pengalaman missa pertama itulah aku mulai berani berkomunikasi dengan mereka orang-orang Yapese, aku mulai belajar bahasa mereka, budaya dan adat istiadat mereka. Makanan sehari-hari, selain beras import dan makanan kalengan, adalah makanan dari kebun mereka berupa ‘potatos, yam, taro’ (jenis umbi-umbian yangsama jenisnya dengan yang tumbuh di Waghete Papua). Makanan tradisional ini rupanya juga membentuk masyarakat yang sangat dekat dengan alam. Alam kepulauan yang indah dan subur, dipenuhi dengan berbagai macam jenis bunga, dan berbagai jenis buah-buahan, kelapa, bamboo, dan betelnut (pinang). Nah tumbuhan betelnut itulah yang ‘menghidupi’ mereka orang-orang Yapese. Tak ada seorang Yapese-pun yang hidup tanpa mengunyah pinang (nginang). Sebelum dan sesudah misa mereka nginang, bahkan di dalam gereja.
Bersama Deacon Arthur Donald Fijibman. Belajar bahasa Yapese sambil mau mencuci pakaian.
Latarbelakang adalah kebun betel nut (photo: dok.pribadi)
Bukankan kita juga mengunyah Jesus dan sabdaNya didalam perayaan Ekaristi? Kata ‘mengunyah’ nampaknya lebik cocok dari pada ‘makanlah dan minumlah inilah Jesus....’. Sejauh ini spiritualitas kristiani rasanya telah tumbuh berkembang dan terintegrasikan ke dalam hidup harian orang Yapese, antara lain kebiasaan duduk bersama sambil nginang (sharing dan mengambil putusan dalam pertemuan/rapat), kesatuan dengan alam ciptaan Tuhan, kekerabatan/keluarga, tanah dan rumah, kehadiran Allah dalam hidup mereka yang kita tanggapi dengan berbagai bentuk tarian dan kesenian Yapese. Pendek kata tradisi Yapese memiliki nilai-nilai spiritual kristiani.
(Bersambung)