====================
Memperingati WYD 2008 di Sydney, Atas prakarsa Serikat Jesus Provinsi Australia dan kerjasama dengan beberapa tarekat suster diadakanlah program MAGIS 2008. Program ini adalah program pembinaan kaum muda dalam semangat spiritualitas Ignatian yang dilakukan dalam konteks WYD 2008 ini. Program besar yang melibatkan banyak kaum muda dari berbagai negara ini meliputi introduksi kepada spiritualitas, khususnya spiritualitas Ignatian, membangun hidup doa, solidaritas sosial dan juga kebersamaan sebagai komunitas Gereja. Program live-in atau exposure juga dilakukan di berbagai tempat termasuk di Jakarta dan Yogyakarta yang diikuti kaum muda dari negara-negara lain. Setelah melakukan acara-acara dalam Program MAGIS 2008, kelompok kaum muda ini berangkat ke Sydney untuk bersama-sama berkumpul berpartisipasi dalam WYD 2008.
Berikut ini laporan dari Frater Mario, SJ yang ikut mendamping Kelompok MAGIS 2008 dari Indonesia.
====================Berikut ini laporan dari Frater Mario, SJ yang ikut mendamping Kelompok MAGIS 2008 dari Indonesia.
Rombongan MAGIS Jakarta tiba di Sydney 12 juli, pagi hari. Dingin! Bahkan panitia setempat menggunakan baju hangat dan kaos tangan. Kesan pertama di Sydney begitu menggoda: rapih, bersih, tertib (misalnya soal lalu-lintas), dan ramah. Beberapa teman berguman, "Bisa gak yah, Endonesa (bukan Indonesia) jadi kayak gini? Kita kan sebenarnya kaya! Lagian kita juga gak bego-bego amat!" Rapih, bersih, tertib dan ramah itu kan semboyan setiap kota di Indonesia menjelang Adipura.
Ignatian Gathering dan misa penyambutan dikemas sangat kreatif oleh para peserta yang adalah orang-orang asli Aborigin. Lalu ada pentas kreatif yang wajib ditampilkan oleh para peserta sesuai lokasi eksperimen (di setiap lokasi eksperimen ada peserta dari berbagai kewarganegaraan). Dalam waktu yang sangat singkat, mengingat jumlah kelompok eksperimen yang sangat banyak, peserta harus mengekspresikan pengalamannya dalam bentuk simbolisasi kreatif. Nah, dari berbagai bentuk kreativitas itu, ada satu nada yang sama (setidaknya dari kesan yang saya tangkap) dalam penampilan semua kelompok, yakni bahwa ada kerinduan akan sebuah ikatan yang melampaui batas-batas prasangka ras, kewarganegaraan, bahasa, dan perbedaan lain. Ikatan itu bisa dinamai persahabatan, belarasa, damai atau cinta. Mengapa ada keinginan besar terhadap ikatan yang semacam ini? Coz they have tasted the power and the wonder of that bound, though only for a short while. Ternyata probasi yang diikuti semua peserta di berbagai belahan dunia (yang sebelumnya dibekali spiritualitas Ignatian), punya andil untuk membuka cakrawala dan menggugah kepedulian terhadap situasi di luar kenyamanan diri: bahwa ada sesuatu di luar sana, yang tidak semestinya demikian. Ini tanda bahwa ada harapan dalam diri orang-orang muda.
Hari kedua (13/7), misa hari Minggu dipimpin Fr. Mark Raper, SJ. Peserta dari Indonesia membuat visualisasi bacaan dan mengiringi persembahan dengan tarian Jawa (saya tidak tahu nama tariannya), sedang Fr. Ardi membacakan Injil dalam bahasa Indonesia sambil dinyanyikan dengan gaya pentatonik Jawa. Lalu pada malam hari ada acara Cultural Night. Setiap negara mempersembahkan tampilan. Tiga putri Indonesia mempersembahkan Tari Merak. Atas kerja keras dan partisipasi para saudara sebangsa ini, beberapa teman berguman, "Gila! Endonesa keren abis!" "Endonesa gitu lho!"
Di hari kedua ini, semua orang melihat dan merasakan keragaman yang begitu nyata. Sambil menjadi bangga dengan ibu pertiwi masing-masing, setiap orang juga diundang untuk menghormati dan melihat dunia dari perspektif yang lain.
Hari ketiga (14/7), peserta diajak untuk kembali melihat pengalaman selama probasi dan mencermati segala gerak batin (perasaan, pikiran, kehendak atau impian). Dari hasil sharing kelompok-kelompok kecil, yang kemudian dibagikan dalam kelompok besar, saya merasa ada sesuatu yang mengagumkan. Orang muda ternyata tidak hanya peduli dengan dirinya. Ada impian tentang dunia yang lebih baik untuk orang lain. Mereka memang banyak protes; mengapa pemerintah begini dan begitu, mengapa orang harus hidup dalam kondisi yang sangat tidak manusiawi, dan masih banyak lagi mengapa begini dan mengapa begitu yang lain. Tetapi lebih jauh dari sekedar protes itu, mereka juga ingin melakukan sesuatu sekiranya mampu. "I want to go back there!" "I want to be able to help. But now, I don't know how!" Di sini rasanya ada PR besar, yakni untuk menjaga supaya nyala semangat itu tidak padam oleh waktu. Tentu saja, juga nyala yang ada pada diri kita sendiri, sebagai Yesuit.
Hari keempat (15/7) adalah hari terakhir kami berkumpul untuk melaksanakan liturgi sebagai komunitas MAGIS, selanjutnya kami akan selalu mengikuti liturgi sebagai komunitas besar peserta WYD. Setelah pemberkatan dan pengutusan (yang disimbolisasikan dengan pemberian salib kepada semua peserta), kami berangkat ke Barangaroo, dimana misa pembukaan WYD dilaksanakan. Semua orang dari seluruh dunia rasanya berkumpul di Barangaroo. Jalanan penuh sesak, tapi tetap teratur. Kerja keras yang mengagumkan dari penyelenggara. Tidak hanya penyelenggara yang pantas diacungi jempol, tetapi juga ribuan peserta yang datang. Semua orang mengikuti petunjuk yang diberikan dan tidak cenderung memilih tempat yang paling nyaman atau yang paling dekat dengan altar. Semua sadar bahwa hanya ada tempat yang sangat terbatas bagi setiap orang, maka yang lebih dulu tiba di lokasi, tidak lalu menguasai arena, sehingga tetap menyisakan ruang bagi yang kemudian datang. Jujur saja, saya merasa bahwa ini sebuah kesadaran yang sekarang langka.
Maaf, sekian dulu informasi yang bisa saya bagikan. Di belakang saya sudah ada yang antri untuk menggunakan komputer yang sedang saya pakai.
0 comments:
Posting Komentar