Senin, 21 Januari 2008

Pater Jendral Adolfo Nicolas, SJ: Orang Eropa yang Mengenali Jiwa Asia

Pater Riyo Mursanto, SJ, yang pernah menjadi Asisten dari Pater Jendral (P. Adolfo Nicolas) semasa Pater Nicolas menjabat sebagai Presiden Jesuit Conference of East Asia-Oceania di Manila, membagikan cerita dan refleksinya seputar pemilihan Pater Jendral.

***

Murmuratio 4 hari terasa membuat capai. Mendengarkan pendapat orang dengan penuh perhatian itu ternyata menguras energi. Pada hari Jumat siang saya merasa sudah tidak perlu bertanya-tanya lagi mengenai kandidat jenderal. Setelah makan siang sandwich, saya mengajak Rm. Moko untuk berdoa di kapel tempat dulu tanggal 22 April 1541, Ignatius dan lima kawannya mengucapkan kaul. Kapel ini di dalam gereja St. Paulus di luar tembok. Ternyata Romo Provinsial tertarik juga. Kami bertiga naik bis no 271, dari dekat Kuria turun depan gereja itu persis. Setelah cukup berdoa kami pulang. Saya tidak kembali lagi ke Kuria. Karena capai, malamnya tidur dengan nyenyak dan bermimpi.


Hari Sabtu saya sarapan lebih pagi, sudah janjian dengan Nico (sapaan akrab utk Adolfo Nicolas) untuk sarapan jam 6.40, lalu jam 7 jalan kaki ke Kuria, karena jam 7.30 sudah harus berpakaian alba dan stola, siap utk misa di gereja Santo Spirito, persis di depan pintu Kuria. Hari masih gelap, sambil berjalan, sebagaimana tiap pagi kami jalan kaki berdua ke Kuria, saya cerita pada Nico:

"Tadi malam saya mimpi, kita berjalan berdua. Saya khawatir ini jalan kaki kita pagi-pagi utk yang terakhir"

Dia sambil tertawa terus berjalan cepat seperti biasa. Kami berjalan cepat, sampai teman-teman Jesuit lain yang tinggal serumah berkomentar: mereka berdua tidak jalan kaki, tetapi berlari. Bila berhenti di lampu merah sambil menunggu, mereka komentar: awas kereta api cepat mau lewat. Ternyata pagi hari Sabtu itulah memang jalan kaki terakhir saya bersama Nico, untuk berjalan ke Kuria. Sepulang dari Kuria tadi, saya pulang sudah mendapati kamar Nico di dekat kamar saya sudah kosong, tasnya sudah diambil, dipindah ke Kuria. Untuk jenderal terpilih memang kamar sudah disiapkan di sana.

Orang terheran-heran mengapa untuk mengganti jenderal yang berumur 80 tahun, kami memilih yg berumur 72? Mengapa tidak yang lebih muda? Proses murmuratio ternyata membawa kami ke arah itu, meskipun pada sebelum KJ kami merumuskan profil jenderal yang berumur sekitar 50-an sampai 60-an. Setiap kali saya menjawab pertanyaan dari teman Jesuit lain, saya jawab sambil menyampaikan pesan sponsor dari Nico sendiri bahwa dia sudah terlalu tua, lebih baik dicoret saja namanya dari daftar yang kita miliki. Namun ternyata setelah merenungkan situasi serikat di jaman kita, keprihatinan dan kegembiraannya, kami lalu mencari-cari siapa yang paling cocok. Dan hanya dia lah yang dianggap paling pantas. Sekarang ini Gereja dan serikat kita termasuk di dalamnya, tumbuh dan berkembang di belahan dunia yang di luar Eropa. Kami merasa perlu menemukan seseorang yang memahami permasalahan yang membutuhkan pendekatan lintas budaya. Orang seperti itu adalah Nico. Dia orang yang lahir di Eropa, mengalami pergulatan dalam karya di Asia. Memang surat dari Paus demikian pun kotbah dari Kardinal Rhode menyiratkan permasalahan hubungan Serikat dengan Tahta Suci, dan kita memiliki orang yang sudah sangat dekat dengan Vatikan, namun kebutuhan untuk memahami masalah yang dihadapi serikat di dunia jaman ini, yang harus kita hadapi dengan semangat keterbukaan lintas budaya, jauh lebih diperlukan dari pada masalah mencari orang yang disenangi Vatikan.

Nico sejak 30 tahun lalu sudah mengalami hal-hal yang menimbulkan prasangka buruk dari pihak Vatikan. Yang terakhir belum lama waktu dia di Jepang, ada kardinal dari Vatikan yang mencurigai dia memiliki pandangan teologi yang terlalu liberal. Pasalnya, waktu para uskup Jepang dalam Sinode menyampaikan pandangan mengenai Gereja Asia yang membuat telinga beberapa tokoh di Vatikan menjadi panas, yang dituduh di belakangnya adalah Nico. Padahal itu tidak betul. Para uskup sendirilah yang membuat rumusan itu dan bertanggungjawab penuh atas apa yang mereka sampaikan. Untunglah prasangka lama itu tidak menjadi masalah sekarang. Dalam daftar yang diam-diam telah disampaikan ke Vatikan (ini kelihaian diplomasi P.H-Kolvenbach), nama Nico termasuk di sana, dan tidak mendapat reaksi negatif. Karena itu sewaktu nama Nico muncul di dalam proses murmuratio, orang tidak berpikir lagi mengenai halangan yang kiranya bakalan muncul dari pihak Vatikan. Dan itulah yang terjadi, hari Sabtu siang itu adalah hari yang bersejarah bagi serikat kita. Nico terpilih. Kami menyebutkan sekarang: Pater Jenderal.

Jenderal baru ini, kendati usianya sudah 72, secara fisik sehat dan lincah. Saya harus beradu cepat untuk jalan kaki bersamanya, padahal saya 51 dan masih bisa naik gunung, masih lari keliling lapangan, toh harus betul-betul melangkah utk mengikuti iramanya. Intelektual sangat tinggi, pandangan teologisnya sangat kontekstual dan sangat memahami jiwa Asia, serta dunia ketiga pada umumnya. Cintanya pada serikat sangat besar, bahkan karena cintanya itu dia ingin merombak cara administrasi dan kebiasaan pemerintahan Kuria, agar lebih ramping dan dinamis. Kalau berbicara dengan orang muda, para skolastik kita, dia mampu mengobarkan hati dan memberi inspirasi, karena bahasanya sederhana dan lugas, menterjemahkan pesan-pesan spiritual ke dalam istilah yang berbahasa biasa. Waktu pertemuan para pengurus yayasan lembaga pendidikan SJ di Asistensi di Cebu Philippines bulan Agustus lalu, dihadiri juga oleh para rekan kerja awam kita dari Indonesia, dia kami undang bicara, dan membuat para peserta menjadi semakin paham apa yang dimaksudkan jiwa pendidikan yang dikehendaki serikat.

Harapan kita cukup banyak terhadapnya. Tidak perlu menjadi jenderal sangat lama, namun dalam waktu yang pendek itu, diharapkan ada perubahan yang cukup berarti di pemerintahan serikat kita, sehingga lebih tepat merumuskan permasalahan kerasulan yang menjadi tugas perutusan sesuai cita-cita Ignatius sendiri “berjuang di bawah panji salib, menyelamatkan jiwa-jiwa”. Saya menangkap kesan umum, jaman jenderal selama 20-25 th sudah lewat, kita butuh jenderal 10-15 tahun saja, atau lebih pendek dari itu. Kemudian ganti lagi.

Untuk asistensi kita punya PR yang harus dikerjakan. Artinya harus dicari seorang Presiden Konferensi untuk di Manila.

Senin mendatang kami mulai dengan sesi Ad Negotia, setelah menyelesaikan sesi Ad Electionem ini. Kami akan mulai membahas apa yang perlu dibuat dekrit atau apa yg cukup menjadi perkara pemerintahan sehari-hari yang akan diurus oleh Pater Jenderal dengan para asisten. Karena itu kami juga masih harus memilih para asisten jenderal, yang akan membantu jenderal baru ini.


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

0 comments: