Pater RB. Riyo Mursanto, SJ, salah satu peserta KJ 35 di Roma, berikut ini menuliskan refleksinya berkaitan dengan proses "murmuratio" yang merupakan bagian dari pemilihan Pater Jendral Jesuit yang baru.
Murmuratio adalah sebuah proses yang unik. Untuk memilih jenderal kami memasuki murmuratio selama 4 hari. Mengapa 4 hari? Sambil bergurau orang menjawab, karena hari pertama dapat menyebut banyak nama. Hari kedua dan ketiga, keempat daftar nama itu akan menjadi semakin pendek, tinggal dua atau satu nama saja yang dimasukkan dalam doa. Nanti kalau sampai 5 hari nama-nama itu bisa habis, maka pemilihannya dijatuhkan pada hari kelima, waktu orang tinggal punya satu nama yang ditimbang-timbang.
Semula orang merasa was-was, bagaimana murmuratio itu berjalan. Setelah pada hari pertama ada sharing dari 3 peserta yang dulu pernah mengikuti KJ 33 utk memilih PHK (Peter Hans Kolvenbach), lalu gambaran buram mengenai murmuratio itu menjadi lebih terang. Dan orang-orang memasuki proses ini dengan penuh kepercayaan. Saya sendiri mengalami ini sebagai suatu proses discernment yang luar biasa, dalam suasana tenang kita membuka diri, bertanya pada orang lain, mendengarkan orang lain, menimbang-nimbang dalam doa dan seterusnya. Di dalam Kapel St. Fransiskus Borgias, kapel paling besar di Curia Roma, selalu ditahtakan Sakramen Mahakudus, sejak misa pagi sampai jam 6.45 sore. Orang-orang keluar masuk untuk berdiam sejenak di dalamnya berdoa.
Dengan memandangi gambar di belakang altar, dua buah rusa di padang rumput sedang mendekati air sungai yang mengalir, saya teringat nyanyian “bagaikan rusa mendamba air, jiwaku rindu padamu Tuhan…” Katanya memang itu merupakan gambaran kerinduan jiwa Fransiskus Borgias, seorang mistikus, seorang pendoa, yang selalu merindukan campur tangan Tuhan dalam hidupnya. Campur tangan itulah yang sekarang sedang dimohon oleh kami para peserta KJ, agar dapat menemukan seorang yang paling cocok untuk memimpin serikat menghadapi tantangan jaman kita, dan untuk tetap dapat mewujudkan makna ketaatan pada Paus, siap diutus ke mana gereja memerlukan kita.
Dulu sewaktu para peserta KJ tinggal di rumah Curia, tidak ada kesulitan untuk menghubungi orang-orang di kamarnya. Tinggal mengetuk pintu, lalu “bisik-bisik” bisa dilakukan. Sekarang ini para peserta tinggal tersebar di 9 komunitas yang berbeda-beda. Maka dibuat sebuah acara agar orang tidak kembali ke rumah masing-masing utk makan siang seperti biasa. Di rumah Curia disiapkan sandwich atau roti isi (ada yang isi tuna, salami, ham, tomat dst), buah-buah dan air botolan, ini semua untuk makan siang para peserta. Di rumah Curia sendiri tidak ada makan siang di refter seperti biasa. Ini yang menjadi bahan berita di koran-koran lokal, bahwa untuk memilih jenderal, para peserta KJ sampai harus mengadakan retret, berdoa dan berpuasa: hanya makan panini e fruta (makan roti dan buah). Tidak ada pasta, tidak ada tavola calda (hidangan panas).
Saya ingat dalam kitab suci Yesus mengingatkan para murid, ada jenis setan tertentu yang harus diusir bukan hanya dengan doa, tetapi „dengan doa dan laku tapa“. Barangkali itulah yang sedang kami lakukan. Untuk mengusir setan ambisi. Bahkan dalam Formula KJ dibentuk apa yang disebut komisi ambisi, untuk mengamat-amati siapa yang berambisi jadi jenderal, untuk menerima laporan seandainya ada peserta yang mengetahui ada orang yang berambisi jadi jenderal. Setan yang mau diusir adalah juga setan‚ keinginan untuk kedudukan. Sungguh suatu yang tak dipahami dunia, bahwa untuk memilih pimpinan tertinggi ini tidak ada kampanye-kampanye, bahkan untuk memberi informasi tentang seseorang saja tidak boleh, bila itu tidak diminta atau ditanyakan.
Yang kami cari memang seorang jenderal yang sungguh mencintai serikat, mencintai gereja, mencintai orang-orang di dunia dengan permasalahannya dan karena itu mau melayani, bukan orang-orang yang mencintai kedudukan dan mencari nama. Ini benar-benar proses yang unik.
Apakah proses mengambil keputusan yang melibatkan doa dan laku tapa ini dapat kita jadikan kebiasaan dan cara bertindak kita dalam hidup biasa? Untuk itu kita perlu belajar‚ bisik-bisik dalam suasana doa’, bukan mengembangkan‚ kasak-kusuk dan intrik-intrik’.
Kalau dukungan rekan-rekan selama ini tidak dengan disertai laku tapa, saya yakin setidak-tidaknya pasti dengan doa.
***
Murmuratio adalah sebuah proses yang unik. Untuk memilih jenderal kami memasuki murmuratio selama 4 hari. Mengapa 4 hari? Sambil bergurau orang menjawab, karena hari pertama dapat menyebut banyak nama. Hari kedua dan ketiga, keempat daftar nama itu akan menjadi semakin pendek, tinggal dua atau satu nama saja yang dimasukkan dalam doa. Nanti kalau sampai 5 hari nama-nama itu bisa habis, maka pemilihannya dijatuhkan pada hari kelima, waktu orang tinggal punya satu nama yang ditimbang-timbang.
Semula orang merasa was-was, bagaimana murmuratio itu berjalan. Setelah pada hari pertama ada sharing dari 3 peserta yang dulu pernah mengikuti KJ 33 utk memilih PHK (Peter Hans Kolvenbach), lalu gambaran buram mengenai murmuratio itu menjadi lebih terang. Dan orang-orang memasuki proses ini dengan penuh kepercayaan. Saya sendiri mengalami ini sebagai suatu proses discernment yang luar biasa, dalam suasana tenang kita membuka diri, bertanya pada orang lain, mendengarkan orang lain, menimbang-nimbang dalam doa dan seterusnya. Di dalam Kapel St. Fransiskus Borgias, kapel paling besar di Curia Roma, selalu ditahtakan Sakramen Mahakudus, sejak misa pagi sampai jam 6.45 sore. Orang-orang keluar masuk untuk berdiam sejenak di dalamnya berdoa.
Dengan memandangi gambar di belakang altar, dua buah rusa di padang rumput sedang mendekati air sungai yang mengalir, saya teringat nyanyian “bagaikan rusa mendamba air, jiwaku rindu padamu Tuhan…” Katanya memang itu merupakan gambaran kerinduan jiwa Fransiskus Borgias, seorang mistikus, seorang pendoa, yang selalu merindukan campur tangan Tuhan dalam hidupnya. Campur tangan itulah yang sekarang sedang dimohon oleh kami para peserta KJ, agar dapat menemukan seorang yang paling cocok untuk memimpin serikat menghadapi tantangan jaman kita, dan untuk tetap dapat mewujudkan makna ketaatan pada Paus, siap diutus ke mana gereja memerlukan kita.
Dulu sewaktu para peserta KJ tinggal di rumah Curia, tidak ada kesulitan untuk menghubungi orang-orang di kamarnya. Tinggal mengetuk pintu, lalu “bisik-bisik” bisa dilakukan. Sekarang ini para peserta tinggal tersebar di 9 komunitas yang berbeda-beda. Maka dibuat sebuah acara agar orang tidak kembali ke rumah masing-masing utk makan siang seperti biasa. Di rumah Curia disiapkan sandwich atau roti isi (ada yang isi tuna, salami, ham, tomat dst), buah-buah dan air botolan, ini semua untuk makan siang para peserta. Di rumah Curia sendiri tidak ada makan siang di refter seperti biasa. Ini yang menjadi bahan berita di koran-koran lokal, bahwa untuk memilih jenderal, para peserta KJ sampai harus mengadakan retret, berdoa dan berpuasa: hanya makan panini e fruta (makan roti dan buah). Tidak ada pasta, tidak ada tavola calda (hidangan panas).
Saya ingat dalam kitab suci Yesus mengingatkan para murid, ada jenis setan tertentu yang harus diusir bukan hanya dengan doa, tetapi „dengan doa dan laku tapa“. Barangkali itulah yang sedang kami lakukan. Untuk mengusir setan ambisi. Bahkan dalam Formula KJ dibentuk apa yang disebut komisi ambisi, untuk mengamat-amati siapa yang berambisi jadi jenderal, untuk menerima laporan seandainya ada peserta yang mengetahui ada orang yang berambisi jadi jenderal. Setan yang mau diusir adalah juga setan‚ keinginan untuk kedudukan. Sungguh suatu yang tak dipahami dunia, bahwa untuk memilih pimpinan tertinggi ini tidak ada kampanye-kampanye, bahkan untuk memberi informasi tentang seseorang saja tidak boleh, bila itu tidak diminta atau ditanyakan.
Yang kami cari memang seorang jenderal yang sungguh mencintai serikat, mencintai gereja, mencintai orang-orang di dunia dengan permasalahannya dan karena itu mau melayani, bukan orang-orang yang mencintai kedudukan dan mencari nama. Ini benar-benar proses yang unik.
Apakah proses mengambil keputusan yang melibatkan doa dan laku tapa ini dapat kita jadikan kebiasaan dan cara bertindak kita dalam hidup biasa? Untuk itu kita perlu belajar‚ bisik-bisik dalam suasana doa’, bukan mengembangkan‚ kasak-kusuk dan intrik-intrik’.
Kalau dukungan rekan-rekan selama ini tidak dengan disertai laku tapa, saya yakin setidak-tidaknya pasti dengan doa.
0 comments:
Posting Komentar