Sore itu, 7 september 1999, bersama para Jesuit senior yang diantaranya adalah dosen dan superior, kami terjebak di dalam padatnya lalu lintas Jakarta dalam perjalanan menuju Gereja Servatius Kampung Sawah untuk merayakan Pesta Emas dalam Serikat Yesus bagi 2 orang Jesuit: Pater Kurris, SJ dan Pater Koelman, SJ. Menyopiri para senior itu tidak selalu menjadi pengalaman yang menyenangkan, karena selain harus extra hati-hati, saya tidak ingin salah satu dari mereka terpancing untuk menjadi
backseat driver. Untung saja sepanjang perjalanan selalu ada saja bahan pembicaraan yang muncul sehingga tidak ada yang tergoda menjadi
backseat driver. Salah satu pembicaraan yang mendapat perhatian adalah soal Timor-Timur yang pada saat itu dalam suasana yang rusuh di sekitar masa-masa referendum. Memang sebelumnya kita sudah mendapat kabar bahwa situasi disana semakin memanas dan keamanan semakin mengkuatirkan, apalagi dengan kabar bahwa banyak orang mengungsi dan adanya konflik-konflik bersenjata atau milisi yang beringas. Kami sempat mengkuatirkan keselamatan rekan-rekan Jesuit yang bertugas disana, apalagi ketika sore itu ada kabar bahwa kontak dengan Timor-Timur semakin sulit.
Sore itu, banyak Jesuit yang tinggal di Jakarta hadir dalam perayaan 50 tahun sebagai Jesuit untuk Pater Kurris, SJ dan Pater Koelman, SJ. Umat pun banyak berdatangan memenuhi Gereja Servatius yang megah di tengah perkampungan di pelosok yang lumayan jauh dari pusat kota Jakarta. Namun demikian, ketika waktu menunjukkan pukul 5 sore, saya merasakan ada sesuatu yang tidak beres: Pater Provinsial (waktu itu Pater Wiryono Priyotamtomo, SJ) belum datang. Saya masih ingat kita semua menunggu-nunggu, bahkan Ekaristi pun yang tadinya direncanakan pukul 5 sore dimundurkan sampai Pater Provinsial datang. Tidak biasanya Pater Provinsial datang terlambat, apalagi tanpa pemberitahuan. Satu jam berlalu, dan akhirnya para jubilarian memutuskan untuk memulai ekaristi tanpa Pater Provinsial. Semua bertanya-tanya: ada apa gerangan?
Menjelang Ekaristi berakhir, Pater Provinsial baru datang. Saya masih ingat betul bagaimana beliau bergabung di atas altar dengan wajah yang begitu tegang. Belakangan, ketika ekaristi berakhir, dalam acara ramah tamah beliau dengan ekspresi muka yang sedih mengatakan bahwa Serikat Yesus kehilangan kontak dengan Pater Dewanto, SJ yang ditugaskan di Timor-Timur. Sejak kemarin tidak ada kontak dengan beliau dan pastor lain yang bertugas di Suai, dan ada kabar bahwa terjadi penembakan dan pembantaian di sana. Beliau menambahkan bahwa hal yang terburuk bisa saja sudah terjadi. Suasana malam itu berubah menjadi redup dan sedih. Kekuatiran bahwa kita kehilangan rekan dan membayangkan sesuatu yang buruk terjadi disana cukup membuat malam itu ditutup penuh dengan rasa was-was, sedih dan terkejut.
Pada tanggal 6 September 1999, Pater Tarcisius Dewanto, SJ terbunuh di Gereja Suai dalam penembakan/pembantaian di depan Gereja yang dilakukan para milisi bersenjata. Ini adalah peristiwa kemartiran pertama yang dialami oleh Serikat Yesus Indonesia sesudah kemartiran Frater Hermanus Bouwens, SJ dkk pada tahun 1948 di Muntilan Jawa Tengah. Pada saat terbunuhnya, Pater Dewanto, SJ adalah seorang Imam muda Jesuit asal Magelang yang belum genap 2 bulan menjadi imam ketika terbunuh. Menurut saksi mata, Pater Dewanto, SJ pada saat itu hendak berunding dengan para milisi untuk tidak menyerang umat yang berlindung di dalam Gereja. Beliau dipukuli dan ditembak dari belakang oleh para milisi yang kemudian juga membunuh 2 orang imam diosesan yang ada disana dan juga beberapa umat. Jenazah beliau bersama kedua romo yang juga terbunuh sempat misterius keberadaannya, dan baru pada bulan November 1999 (hampir 2 bulan kemudian) jenazah ditemukan terkubur di daerah dekat pantai.
Pater Dewanto, SJ yang ditahbiskan pada akhir bulan Juli 1999 dikirim ke Timor-Timur sebagai medan perutusannya yang pertama sebagai seorang imam. Tugas pertamanya adalah di Seminari Dili. Menurut kesaksian Pater Hayashi Hisashi, SJ yang sempat bertemu Pater Dewanto, SJ, tugas di Dili ini harus ditinggalkan karena Pater Dewanto, SJ diminta pindah ke Suai atas permintaan Uskup Belo dengan pertimbangan bahwa adanya seorang romo yang berasal dari Jawa akan lebih baik untuk menghadapi situasi yang makin memanas di Suai yang notabene dekat dengan perbatasan. Pada saat itu situasi disana sungguh memanas, dan pihak Militer Indonesia dan Milisi sudah sedemikian brutal dan menguasai beberapa area dan mereka tidak segan-segan bila harus membunuh Pastor asal Timor-Timur. UNHCR dan beberapa LSM pun tidak memiliki akses ke Suai dan ada kabar bahwa persediaan pangan sudah semakin menipis. Di sana hanya ada kehadiran Gereja dengan beberapa imam yang dalam suasana terjepit antara para milisi dan umat. Dalam situasi seperti inilah Pater Dewanto, SJ masuk ke Suai. Bisa jadi beliau menjadi “tameng” dalam menghadapi suasana yang tidak mudah, dan juga untuk membantu para pengungsi.
Gereja Suai
Saya tidak mengenal secara personal Pater Dewanto, SJ. Tetapi menurut cerita rekan-rekan yang hidup bersamanya dalam masa formasi Jesuitnya, mempunyai kesan bahwa Pater Dewanto, SJ adalah seorang pribadi yang sederhana. Beliau terkesan pemalu, namun baik hati sekaligus senang bercanda. Beberapa jokes yang selalu terkenang dan disharingkan dari mulut ke mulut diantara kami adalah tentang beliau ketika studi filsafat di Jakarta. Teman-temannya kaget setengah mati di suatu pagi ketika dia mengatakan bahwa baru pagi itulah selama hidupnya dia pertama kali mengenakan celana jeans. Hal lain yang lucu juga adalah soal plesetan Pastor Bonus yang saya dengar ketika menghadiri tahbisannya di Yogyakarta. Ya, diantara teman-temannya sesama tahbisan (ada sebelas orang) Pater Dewanto, SJ dijuluki Pastor Bonus, tetapi bukan dalam arti Gembala yang baik. Pastor Bonus disini artinya bahwa sebenarnya yang layak ditahbiskan hanya 10 orang, nah Pater Dewanto, SJ hanya bonus (tambahan) saja. Kendati sering menjadi obyek bulan-bulanan dari teman-temannya Pater Dewanto, SJ tidak pernah marah. Beliau selalu membalas ejekan dan keisengan teman-temannya dengan plesetan dan jokes yang kadang “tidak lucu” ataupun harus diterangkan dulu untuk melihat kelucuannya.
Pater Hisashi, SJ dalam kenangannya terhadap Pater Dewanto, SJ mengatakan bahwa dia adalah seorang pribadi yang lembut dan ramah. Masih dalam ingatan Pater Hisashi, SJ ketika Pater Dewanto, SJ menyanyikan lagu kegemarannya “Kokoro No Tomo”. ketika berada di Timor-Timur sebelum berangkat ke Suai. Pater Dewanto, SJ lah yang mengantarkan Pater Hisashi,SJ keliling Dili dengan sepeda motor. Pater Hisashi, SJ terkesan dengan kerendahan hati Pater Dewanto, SJ yang dengan tekun dan tanpa malu belajar bahasa Tetum walaupun masih dengan terbata-bata dan dengan aksen Jawa. Dalam Tulisan Pater Hisashi, SJ disebut bahwa kadang beberapa orang tidak memahami apa yang dikatakannya. Namun demikian sikap hatinya yang lembut membuat orang dekat pada Pater Dewanto, SJ, yang memang dengan murah hati dan gembira mau menyapa banyak orang Timor-Timur dengan bahasa Tetum dan berbicara dengan mereka.
Kematian Pater Dewanto, SJ begitu menyentak dan mengejutkan. Tak disangka bahwa pilihan hidup sebagai seorang Jesuit bisa berakhir dengan nyawa yang harus dikorbankan dan dipertaruhkan. Pater Dewanto, SJ tahu bahwa tugasnya ke Suai itu tidak mudah dan pasti penuh bahaya. Tetapi beliau dengan taat dan murah hati pergi kesana dengan segala risiko yang ada. Pater Hisashi, SJ dengan bergurau sempat mengatakan kepada Pater Dewanto, SJ menjelang keberangkatannya ke Suai:
"Take care. I do not want to have to attend your funeral."
Pater Dewanto, SJ membalasnya dengan senyum, tahu bahwa medan perutusannya adalah medan yang penuh bahaya.
Sikap ini mengingatkan saya pada Tulisan Pater Jendral Serikat Yesus, Pater Kolvenbach, SJ soal kemartiran para Jesuit:
“They knew what could happen, but they accepted this as what it means to be companions of Jesus, living the paschal mystery with Jesus. When we spoke about whether it would be better for them to leave the country, they said to me, Did you leave Lebanon during the civil war? No, you didn't. It is not our spirituality to abandon the people just because the situation becomes difficult or even dangerous …………”
“……………martyrdom retains its meaning: giving your life for another. It means not only making the other your neighbor, as in the parable of the Good Samaritan, not only giving things to another, but giving yourself even to the point of giving the most you can give your life for others, exactly what the Lord himself did.”
(The Gospel’s Reality-Peter Hans Kolvenbach, SJ)
Pater Dewanto, SJ memang Pastor Bonus sebagaimana disebut dalam Yohanes 10: 11:
“Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yoh. 10, 11)
Nyawanya sudah dikorbankan bagi umat yang dipercayakan kepadanya. Saat-saat terakhir hidupnya dia sungguh menghidupi panggilannya sebagai Jesuit pada kepenuhannya: tidak meninggalkan umat dalam situasi yang berbahaya dan sulit. Pengorbanan hidupnya saya yakin adalah bentuk kesaksian optimal dari beliau dalam mencoba menghayati hidupnya sebagai Jesuit dan Imam. Pater Dewanto, SJ dimakamkan di Dili, Timor-Timur.
Hari ini, tepat satu windu kemartirannya, saya mengajak anda sekalian, untuk mengenang beliau, berdoa dan bersyukur atas rahmat panggilan imamat dan kemartiran yang dianugerahkan kepada Gereja lewat diri Pater Dewanto, SJ, Sang Pastor Bonus.
Si Deus pro nobis, quis contra nos?