Jumat, 07 September 2007

Pesta Emas Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ

Hari ini adalah pesta emas Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ menjadi Jesuit. 50 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 7 September 1957, beliau masuk Serikat Yesus di Novisiat Girisonta, Ungaran Jawa Tengah, pada usia 23 tahun. Setelah menyelesaikan 2 tahun novisiat dan 2 tahun juniorat, beliau melanjutkan studi filsafatnya di India, tepatnya di Nobili College Pontifical Atheneum, di kota Poona. Masa-masa tahun orientasi kerasulan sebagai frater beliau habiskan di Seminari Petrus Kanisius Mertoyudan di Magelang. Lalu pada tahun 1966 sampai dengan 1970 beliau melanjutkan studi teologi di Kolese St. Ignatius Yogyakarta.

Beliau ditahbiskan menjadi imam pada 18 Desember 1969. Pada tahun 1971 penugasan beliau yang pertama sebagai imam adalah sebagai seorang Pastor Paroki di Kalasan. Tidak lama menjadi pastor paroki, beliau ditunjuk untuk menjadi socius magister dan pastor paroki di Paroki Girisonta. Bertugas sebagai Socius Magister adalah tugas untuk membantu Pater Magister mempersiapkan calon-calon Jesuit supaya dapat menghayati semangat hidup di dalam Serikat Yesus, Spiritualitasnya, dan juga panggilan hidup religious. Tugas lebih berat sudah menunggunya. Pada tahun 1978 beliau diangkat menjadi Socius Provinsial, sekaligus menjadi superior residensi provincial Serikat Yesus di Semarang, serta sekaligus juga Rektor Seminari Petrus Kanisius Mertoyudan. Tugas yang berat ini pun diembannya dengan kepemimpinan yang baik. Tidak mengherankan apabila pada tahun 1981 beliau diangkat menjadi Pimpinan Serikat Yesus Indonesia (sebagai Provinsial). Rupanya ada sesuatu yang lebih besar sudah menunggu Romo Darma. Beliau diangkat menjadi Uskup Agung Semarang, hanya 2 tahun setelah ditunjuk menjadi Provinsial Serikat Yesus.

Selama 13 tahun menjadi Uskup Agung Semarang, beliau sungguh mengembangkan Keuskupan menjadi Keuskupan yang semakin mantap dan mandiri. Tugas sebagai Uskup Angkatan Bersenjata pun juga beliau emban cukup lama. Kepemimpinan dan karisma pastoral beliau, sebagai uskup dan gembala sungguh memberi sumbangan besar bagi Gereja Katolik Indonesia. Peranannya yang sangat signifikan dalam kepemimpinan Gereja dan Pastoral ini menjadi faktor penting diangkatnya beliau menjadi Kardinal pada tahun 1994. Pada tahun 1996 beliau pun ditunjuk menjadi Uskup Agung Jakarta.

Berada di ibukota, membuat peran beliau tidak hanya sebatas Gereja saja. Beliau selama ini sangat aktif membina komunikasi dan dialog dengan pimpinan agama-agama lain. Beliau juga mengajak umat Katolik untuk selalu aktif di dalam masyarakat, membina relasi yang baik dengan umat beragama lain dan melakukan dialog kehidupan dengan semua orang.

Dalam sebuah kesempatan bercakap-cakap dengan beliau, saya mendapat kesan bahwa beliau memang seorang pemimpin yang selalu mencoba mencari solusi yang dialogis, lewat cara-cara yang halus dan komunikatif. Sebagai pemimpin, beliau nampaknya sangat memperhitungkan risiko berbagai macam keputusan dan tindakan yang diambilnya untuk banyak umat. Melihat permasalahan secara luas dan melihat akar-akarnya merupakan ciri khas beliau. Singkatnya, beliau merupakan pemimpin yang sabar, jernih hati dan budi serta tidak emosional. Itu sebabnya selama beliau menjadi Ketua KWI dan juga Uskup Agung Jakarta, beliau sungguh mau mengajak umat Katolik untuk berperan serta dalam perbaikan kehidupan sosial bernegara dan aktif dalam gerakan moral dan dialog dengan sesama. Seruan-seruan moral terhadap kekerasan, kecurangan politik dan juga kemerosotan moral selalu beliau serukan, juga bersama para pemimpin dari kelompok agama lain. Masih dalam ingatan kita bersama ketika Kardinal Julius bersama para pemimpin agama-agama di Indonesia mengadakan audiensi dengan Bapa Suci Joannes Paulus II di Vatikan sebagai sebuah bagian dari seruan moral bersama untuk menentang terjadinya perang di Irak. Perannya yang besar dalam gerakan moral dan dialog antar agama, terutama dengan kelompok-kelompok muslim sempat menjadi perhatian banyak wartawan asing pada saat konklaf pemilihan Paus yang lalu. John Allen, Jr dari National Catholic Reporter sempat menyebut-nyebutnya menjadi sosok yang bisa mengemban tugas sebagai Paus di jaman ini. Dalam tulisannya "Who Will be The Next Pope", John Allen, Jr, menyebut Kardinal Julius sebagai sosok yang rendah hati, sangat spiritual dan aktif dalam dialog dengan kelompok agama-agama lain.

Hari ini beliau merayakan 50 tahun sebagai Jesuit, yang artinya setengah abad perjalanan panggilan beliau sebagai seorang religius. Kita, Gereja Indonesia patut bersyukur atas rahmat panggilan yang dianugerahkan Tuhan kepada Gereja Indonesia lewat diri Kardinal Julius. Doa kita hari ini untuk kesehatan dan tugas-tugas beliau.

Ad Maiorem Dei Gloriam!


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Kamis, 06 September 2007

Satu Windu Kemartiran Pater Tarcisius Dewanto, SJ (1965-1999)

Sore itu, 7 september 1999, bersama para Jesuit senior yang diantaranya adalah dosen dan superior, kami terjebak di dalam padatnya lalu lintas Jakarta dalam perjalanan menuju Gereja Servatius Kampung Sawah untuk merayakan Pesta Emas dalam Serikat Yesus bagi 2 orang Jesuit: Pater Kurris, SJ dan Pater Koelman, SJ. Menyopiri para senior itu tidak selalu menjadi pengalaman yang menyenangkan, karena selain harus extra hati-hati, saya tidak ingin salah satu dari mereka terpancing untuk menjadi backseat driver. Untung saja sepanjang perjalanan selalu ada saja bahan pembicaraan yang muncul sehingga tidak ada yang tergoda menjadi backseat driver. Salah satu pembicaraan yang mendapat perhatian adalah soal Timor-Timur yang pada saat itu dalam suasana yang rusuh di sekitar masa-masa referendum. Memang sebelumnya kita sudah mendapat kabar bahwa situasi disana semakin memanas dan keamanan semakin mengkuatirkan, apalagi dengan kabar bahwa banyak orang mengungsi dan adanya konflik-konflik bersenjata atau milisi yang beringas. Kami sempat mengkuatirkan keselamatan rekan-rekan Jesuit yang bertugas disana, apalagi ketika sore itu ada kabar bahwa kontak dengan Timor-Timur semakin sulit.

Sore itu, banyak Jesuit yang tinggal di Jakarta hadir dalam perayaan 50 tahun sebagai Jesuit untuk Pater Kurris, SJ dan Pater Koelman, SJ. Umat pun banyak berdatangan memenuhi Gereja Servatius yang megah di tengah perkampungan di pelosok yang lumayan jauh dari pusat kota Jakarta. Namun demikian, ketika waktu menunjukkan pukul 5 sore, saya merasakan ada sesuatu yang tidak beres: Pater Provinsial (waktu itu Pater Wiryono Priyotamtomo, SJ) belum datang. Saya masih ingat kita semua menunggu-nunggu, bahkan Ekaristi pun yang tadinya direncanakan pukul 5 sore dimundurkan sampai Pater Provinsial datang. Tidak biasanya Pater Provinsial datang terlambat, apalagi tanpa pemberitahuan. Satu jam berlalu, dan akhirnya para jubilarian memutuskan untuk memulai ekaristi tanpa Pater Provinsial. Semua bertanya-tanya: ada apa gerangan?

Menjelang Ekaristi berakhir, Pater Provinsial baru datang. Saya masih ingat betul bagaimana beliau bergabung di atas altar dengan wajah yang begitu tegang. Belakangan, ketika ekaristi berakhir, dalam acara ramah tamah beliau dengan ekspresi muka yang sedih mengatakan bahwa Serikat Yesus kehilangan kontak dengan Pater Dewanto, SJ yang ditugaskan di Timor-Timur. Sejak kemarin tidak ada kontak dengan beliau dan pastor lain yang bertugas di Suai, dan ada kabar bahwa terjadi penembakan dan pembantaian di sana. Beliau menambahkan bahwa hal yang terburuk bisa saja sudah terjadi. Suasana malam itu berubah menjadi redup dan sedih. Kekuatiran bahwa kita kehilangan rekan dan membayangkan sesuatu yang buruk terjadi disana cukup membuat malam itu ditutup penuh dengan rasa was-was, sedih dan terkejut.

Pada tanggal 6 September 1999, Pater Tarcisius Dewanto, SJ terbunuh di Gereja Suai dalam penembakan/pembantaian di depan Gereja yang dilakukan para milisi bersenjata. Ini adalah peristiwa kemartiran pertama yang dialami oleh Serikat Yesus Indonesia sesudah kemartiran Frater Hermanus Bouwens, SJ dkk pada tahun 1948 di Muntilan Jawa Tengah. Pada saat terbunuhnya, Pater Dewanto, SJ adalah seorang Imam muda Jesuit asal Magelang yang belum genap 2 bulan menjadi imam ketika terbunuh. Menurut saksi mata, Pater Dewanto, SJ pada saat itu hendak berunding dengan para milisi untuk tidak menyerang umat yang berlindung di dalam Gereja. Beliau dipukuli dan ditembak dari belakang oleh para milisi yang kemudian juga membunuh 2 orang imam diosesan yang ada disana dan juga beberapa umat. Jenazah beliau bersama kedua romo yang juga terbunuh sempat misterius keberadaannya, dan baru pada bulan November 1999 (hampir 2 bulan kemudian) jenazah ditemukan terkubur di daerah dekat pantai.

Pater Dewanto, SJ yang ditahbiskan pada akhir bulan Juli 1999 dikirim ke Timor-Timur sebagai medan perutusannya yang pertama sebagai seorang imam. Tugas pertamanya adalah di Seminari Dili. Menurut kesaksian Pater Hayashi Hisashi, SJ yang sempat bertemu Pater Dewanto, SJ, tugas di Dili ini harus ditinggalkan karena Pater Dewanto, SJ diminta pindah ke Suai atas permintaan Uskup Belo dengan pertimbangan bahwa adanya seorang romo yang berasal dari Jawa akan lebih baik untuk menghadapi situasi yang makin memanas di Suai yang notabene dekat dengan perbatasan. Pada saat itu situasi disana sungguh memanas, dan pihak Militer Indonesia dan Milisi sudah sedemikian brutal dan menguasai beberapa area dan mereka tidak segan-segan bila harus membunuh Pastor asal Timor-Timur. UNHCR dan beberapa LSM pun tidak memiliki akses ke Suai dan ada kabar bahwa persediaan pangan sudah semakin menipis. Di sana hanya ada kehadiran Gereja dengan beberapa imam yang dalam suasana terjepit antara para milisi dan umat. Dalam situasi seperti inilah Pater Dewanto, SJ masuk ke Suai. Bisa jadi beliau menjadi “tameng” dalam menghadapi suasana yang tidak mudah, dan juga untuk membantu para pengungsi.

Gereja Suai

Saya tidak mengenal secara personal Pater Dewanto, SJ. Tetapi menurut cerita rekan-rekan yang hidup bersamanya dalam masa formasi Jesuitnya, mempunyai kesan bahwa Pater Dewanto, SJ adalah seorang pribadi yang sederhana. Beliau terkesan pemalu, namun baik hati sekaligus senang bercanda. Beberapa jokes yang selalu terkenang dan disharingkan dari mulut ke mulut diantara kami adalah tentang beliau ketika studi filsafat di Jakarta. Teman-temannya kaget setengah mati di suatu pagi ketika dia mengatakan bahwa baru pagi itulah selama hidupnya dia pertama kali mengenakan celana jeans. Hal lain yang lucu juga adalah soal plesetan Pastor Bonus yang saya dengar ketika menghadiri tahbisannya di Yogyakarta. Ya, diantara teman-temannya sesama tahbisan (ada sebelas orang) Pater Dewanto, SJ dijuluki Pastor Bonus, tetapi bukan dalam arti Gembala yang baik. Pastor Bonus disini artinya bahwa sebenarnya yang layak ditahbiskan hanya 10 orang, nah Pater Dewanto, SJ hanya bonus (tambahan) saja. Kendati sering menjadi obyek bulan-bulanan dari teman-temannya Pater Dewanto, SJ tidak pernah marah. Beliau selalu membalas ejekan dan keisengan teman-temannya dengan plesetan dan jokes yang kadang “tidak lucu” ataupun harus diterangkan dulu untuk melihat kelucuannya.

Pater Hisashi, SJ dalam kenangannya terhadap Pater Dewanto, SJ mengatakan bahwa dia adalah seorang pribadi yang lembut dan ramah. Masih dalam ingatan Pater Hisashi, SJ ketika Pater Dewanto, SJ menyanyikan lagu kegemarannya “Kokoro No Tomo”. ketika berada di Timor-Timur sebelum berangkat ke Suai. Pater Dewanto, SJ lah yang mengantarkan Pater Hisashi,SJ keliling Dili dengan sepeda motor. Pater Hisashi, SJ terkesan dengan kerendahan hati Pater Dewanto, SJ yang dengan tekun dan tanpa malu belajar bahasa Tetum walaupun masih dengan terbata-bata dan dengan aksen Jawa. Dalam Tulisan Pater Hisashi, SJ disebut bahwa kadang beberapa orang tidak memahami apa yang dikatakannya. Namun demikian sikap hatinya yang lembut membuat orang dekat pada Pater Dewanto, SJ, yang memang dengan murah hati dan gembira mau menyapa banyak orang Timor-Timur dengan bahasa Tetum dan berbicara dengan mereka.

Kematian Pater Dewanto, SJ begitu menyentak dan mengejutkan. Tak disangka bahwa pilihan hidup sebagai seorang Jesuit bisa berakhir dengan nyawa yang harus dikorbankan dan dipertaruhkan. Pater Dewanto, SJ tahu bahwa tugasnya ke Suai itu tidak mudah dan pasti penuh bahaya. Tetapi beliau dengan taat dan murah hati pergi kesana dengan segala risiko yang ada. Pater Hisashi, SJ dengan bergurau sempat mengatakan kepada Pater Dewanto, SJ menjelang keberangkatannya ke Suai:

"Take care. I do not want to have to attend your funeral."

Pater Dewanto, SJ membalasnya dengan senyum, tahu bahwa medan perutusannya adalah medan yang penuh bahaya.

Sikap ini mengingatkan saya pada Tulisan Pater Jendral Serikat Yesus, Pater Kolvenbach, SJ soal kemartiran para Jesuit:

“They knew what could happen, but they accepted this as what it means to be companions of Jesus, living the paschal mystery with Jesus. When we spoke about whether it would be better for them to leave the country, they said to me, Did you leave Lebanon during the civil war? No, you didn't. It is not our spirituality to abandon the people just because the situation becomes difficult or even dangerous …………”

“……………martyrdom retains its meaning: giving your life for another. It means not only making the other your neighbor, as in the parable of the Good Samaritan, not only giving things to another, but giving yourself even to the point of giving the most you can give your life for others, exactly what the Lord himself did.”

(The Gospel’s Reality-Peter Hans Kolvenbach, SJ)

Pater Dewanto, SJ memang Pastor Bonus sebagaimana disebut dalam Yohanes 10: 11:

“Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya” (Yoh. 10, 11)

Nyawanya sudah dikorbankan bagi umat yang dipercayakan kepadanya. Saat-saat terakhir hidupnya dia sungguh menghidupi panggilannya sebagai Jesuit pada kepenuhannya: tidak meninggalkan umat dalam situasi yang berbahaya dan sulit. Pengorbanan hidupnya saya yakin adalah bentuk kesaksian optimal dari beliau dalam mencoba menghayati hidupnya sebagai Jesuit dan Imam. Pater Dewanto, SJ dimakamkan di Dili, Timor-Timur.

Hari ini, tepat satu windu kemartirannya, saya mengajak anda sekalian, untuk mengenang beliau, berdoa dan bersyukur atas rahmat panggilan imamat dan kemartiran yang dianugerahkan kepada Gereja lewat diri Pater Dewanto, SJ, Sang Pastor Bonus.

Si Deus pro nobis, quis contra nos?


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Rabu, 05 September 2007

Tantum Quantum

Orang jaman ini seringkali cenderung untuk mencari uang dan keuntungan serta sukses lewat cara-cara yang cepat dan lewat jalan pintas, serta rela berjam-jam menghabiskan waktu di kantor atau dalam pekerjaan sejauh mendapat bayaran/gaji/honor yang tinggi. Tanpa visi yang jelas dan sejati, ambisi akan uang yang demikian ini perlahan-lahan akan memperdaya diri kita. Henry Ford pernah mengatakan sesuatu yang relevan berkaitan dengan hal ini:

"business must be run at a profit, else it will die. But when anyone tries to run business solely for profit, then also the business must die, for it has no reason to exist."

Ketika kita selalu menempatkan uang dan keuntungan materi sebagai yang terutama dalam hidup dan pilihan kita, sukses biasanya tidak akan pernah bertahan lama. Ketika orang selalu menempatkan uang pada prioritas yang utama, maka biasanya orang tersebut akan kehilangan orientasi dan inspirasi soal apa yang benar-benar penting dalam hidup mereka.

Bekerja hanya semata-mata demi uang dan keuntungan materi memiliki resiko dan “bayaran” yang terlalu besar. Bila kita hanya bekerja demi uang, maka hidup kita hanya akan selalu berputar-putar pada soal “having” dan “getting”, bukan lagi soal “being” apalagi “giving”. Kalau uang menjadi tuan dalam hidup kita, maka kita sudah menempatkan hidup kita pada sebuah risiko dimana kita tidak pernah akan menikmati hidup kita sendiri dan dunia sekitar. Kita hanya akan terlalu sibuk demi uang. Bekerja hanya demi uang akan membuat kita tidak memiliki perspektif hidup yang luas, tidak inspiratif, kehilangan kreativitas, dan selalu dihantui kekuatiran akan kekurangan materi atau kenikmatan hidup. Bekerja hanya demi uang hanya akan membuat kita selalu berpikir untuk mempertahankan “comfort zone” kita. Bekerja hanya demi uang akan merusak relasi kita dengan orang yang kita cintai. Siapa sih yang akan percaya akan integritas diri kita kalau motivasi utama kita selalu soal uang?

Dalam riset psikologi ditemukan pula bahwa mereka yang punya okupasi tinggi terhadap uang dan materi sangat rentan dan mudah terserang gangguan-gangguan psikologis seperti stress, psikosomatis, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, migraine, ulcers dan insomnia.

Obsesi akan uang hanya akan membuat hidup kita menjadi monoton dan statis. Mengapa demikian? Karena mereka yang memberi prioritas dan bermotivasi melulu pada uang dan keuntungan itu memiliki paradigma bahwa uang harus menjadi yang pertama. Bila kebutuhan finansial tercukupi maka apa yang berharga dalam hidup akan datang dengan sendirinya: “money is now; Happiness is soon”. Orang-orang ini sebenarnya bertaruh dengan hidupnya sendiri yaitu ketika uang sudah terpenuhi maka semua tujuan hidup, impian-impian dan juga relasi akan terpenuhi dengan sendirinya. Pertanyaannya: berapa uang yang dibutuhkan untuk mengatakan cukup dan aman? Dan berapa lama mereka harus menunggu untuk bisa mengatakan bahwa kebutuhan finansial mereka sudah terpenuhi?

Tentu saja, uang sangatlah penting. Jangan menganggap remeh uang, tetapi di sisi lain tidak perlu juga berlebihan soalnya. Banyak orang selalu mengatakan:

“ketika saya sudah mapan secara finansial, maka saya dapat berbuat apa saja yang saya ingin lakukan”.
Ini hanyalah sebuah ilusi dan tidak akan pernah terjadi. Pendapat yang macam ini adalah “Money Trap”. Money Trap adalah sebuah situasi dimana anda harus meraih kemapanan finansial terlebih dahulu sebelum melakukan apa yang berharga dan penting buat hidup anda; sebelum anda melakukan apa yang anda cintai; sebelum anda melakukan sesuatu untuk mereka yang anda cintai.

Dalam spiritualitas Ignasian, kita mengenal sebuah istilah “tantum quantum” yang artinya kurang lebih “sejauh hanya”. Istilah ini tentunya sangat berkaitan dengan Latihan Rohani no. 23 yang disebut sebagai Azas dan Dasar Latihan Rohani :

“Man is created to praise, reverence, and serve God our Lord, and by this means to save his soul. And the other things on the face of the earth are created for man and that they may help him in prosecuting the end for which he is created. From this it follows that man is to use them as much as they help him on to his end, and ought to rid himself of them so far as they hinder him as to it…”

Tantum Quantum berbicara soal pentingnya membedakan antara “sarana” dan “tujuan”. Uang tidak boleh pada dirinya sendiri akhirnya menjadi tujuan dalam hidup kita. Bila dengan uang akhirnya kita tidak bisa berkembang seturut tujuan kita diciptakan dan hidup sebagai seorang pribadi dan Katolik yang baik, maka tentunya kita sudah terkaburkan orientasinya tentang “tujuan” dan “sarana”. Tantum Quantum dan Latihan Rohani no.23 (Azas dan Dasar) selalu memberi arah pada hidup kita sebagai orang beriman untuk menyadari tujuan hidup kita dan untuk selalu menyadari makna hidup kita di tengah sesama dan di hadapan Tuhan sebagai ciptaanNya. Ketika uang dan materi sudah menjadi tujuan dan prioritas hidup kita ada bahaya bahwa bisa jadi hidup kita pun sudah kehilangan orientasinya yang sejati.


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Senin, 03 September 2007

Dimanakah Saya Menemukan Tuhan?

Berikut ini disajikan sebuah video clip tentang pengalaman beberapa orang baik dewasa dan muda tentang menemukan Tuhan dalam segala melalui perspektif Spiritualitas Ignasian. Mereka membagikan pengalaman mereka tentang "Finding God in All Things" seturut pengalaman dan pemahaman personal mereka.



Anda tentunya memiliki pengalaman tersendiri tentang menemukan Tuhan di dalam segala hal. Anda bisa berkaca dari pengalaman orang-orang dalam video clip tersebut. Apakah anda menemukan Tuhan dalam segala hal? Bila anda tergerak, silakan menuliskannya dalam kolom komentar di bawah ini.


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Antara Sukses dan Hidup Rohani Kita

Ketika kemajuan teknologi semakin cepat, pada saat yang sama pula tuntutan pekerjaan dan juga dorongan untuk semakin menjadi produktif begitu memuncak dan seolah tidak pernah mengenal batas. Dewasa ini, orang sudah semakin terbiasa bekerja 12-14 jam sehari, dan di sisi lain banyak pasangan tidak punya waktu bertemu secara intim dan personal, anak dan orang tua semakin "terasing", batas antara hidup profesional/pekerjaan dengan hidup personal semakin menjadi sesuatu yang tidak mungkin lagi, hidup menjadi kompulsif dan semakin banyak orang merasa kesepian dan menderita gangguan psikologis (stress, burn-out, manic-depressive, anxiety disorders).

Mengalami pengalaman rohani dan menemukan Tuhan di dalam segala, di tengah-tengah situasi yang demikian ini barangkali merupakan sesuatu yang tidak mudah untuk dialami dalam dunia yang sibuk dan terus bergerak ini. Barangkali juga menemukan Tuhan atau mengalami pengalaman rohani menjadi sesuatu yang bukan prioritas, karena karakteristiknya yang kontradiktif dengan gaya hidup masyarakat serba mengedepankan satu kata penting: CEPAT.

Cepat menjadi tolok ukur paling populer bagi masyarakat sekarang ini. Namun di sisi lain gaya hidup masyarakat yang serba cepat menimbulkan sesuatu yang problematik bagi mereka yang tinggal di dalamnya. Masyarakat yang hidup dalam kultur hidup dimana kecepatan menjadi tolok ukurnya cenderung menjadi pribadi yang manic. Manic berasal dari akar kata "mania" yang merupakan istilah psikologi yang menunjukkan absennya kecerdasan, atau merupakan "mood disorder" yang ditandai berbagai macam gejala seperti aktivitas motorik yang berlebihan, impulsif, obsesif dan juga pola berpikir dan berbicara yang tergesa-gesa. Di dalam pola hidup masyarakat yang demikian, kita memang bergerak cepat, menyelesaikan pekerjaan dengan tolok ukur kecepatan, meraih sukses dengan cepat dan menggapai prestasi dengan cepat pula. Namun ada kalanya hidup dalam suasana dan kultur yang serba cepat membuat diri kita tertinggal di belakang. Kita melupakan apa yang benar-benar berharga buat hidup kita secara esensial; kita melupakan nilai dan kebenaran yang penting dalam hidup kita.

Kita dikondisikan untuk meraih sukses dengan cara melakukan pekerjaan kita dengan cepat. Kita dikondisikan untuk mencari "shortcut" yang efektif. Kita dikondisikan untuk tidak tahan melihat tumpukan file atau dokumen yang segera perlu diselesaikan. Selesaikan dengan cepat! Jangan menyisakan pekerjaan hari ini! lembur kalau perlu! Cepat! Kita baru merasa nyaman bila kita menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Kecepatan ada kalanya menjadi sangat addictive. Dalam masyarakat yang manic, kita terkondisikan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat bukan untuk menikmati waktu luang yang tersisa tetapi untuk menyelesaikan pekerjaan lain yang masih bisa diselesaikan. Semakin banyak yang bisa diselesaikan dengan cepat, itulah ukuran sukses masyarakat manic dewasa ini. Sebagian dari kita meraih sukses dalam karir dengan cara yang demikian. Prestasi yang luar biasa ditunjukkan dengan kecepatan dan kuantitas hasil kerja, dan orang berlomba-lomba untuk meraih sukses dengan cara demikian.

Pola hidup dan etos kerja yang demikian tak jarang mengorbankan sisi lain dari hidup kita: relasi dengan orang yang kita cintai dan juga penghayatan nilai hidup dalam diri kita sendiri. Kesibukan dan aktivitas super cepat membuat kita semakin kurang memiliki kesempatan untuk bicara dari hati ke hati dengan orang yang kita cintai, semakin kurang memiliki kesempatan untuk berefleksi atas hidup kita. Komunikasi baik dengan diri kita dan orang yang kita cintai biasanya terlalaikan akibat kita "kecanduan" pola hidup dan kerja yang serba cepat. Tidak heran bila ada suami-istri yang lebih sering berkomunikasi via SMS daripada bicara dari hati ke hati dalam suasana yang hangat. Tidak heran bila dalam keluarga suasana canda tawa, hangatnya makan bersama, cerita bersama menjadi barang langka sekarang ini. Tidak heran bila percakapan kita lebih sering adalah percakapan via mobilephone yang berdurasi hanya sekitar 1-3 menit saja. Tidak heran bila jargon seperti "quality time" menjadi rasionalisasinya.

Cepat memang menjadi tolok ukur sukses, tetapi bukanlah tolok ukur yang mendasar. Apalah artinya meraih sukses dan mengerjakan sesuatunya dengan cepat tetapi kita mengabaikan diri dan nilai hidup kita jauh di belakang, terbengkalai dan tidak terperhatikan?

Sukses adalah soal kecepatan dan waktu untuk berefleksi. Sukses adalah soal kecepatan dan sekaligus kesabaran, soal aksi dan inspirasi, soal sekarang dan esok. Sukses tidak ada gunanya bila membuat kita menjadi pribadi yang manic (manic personality), yang melupakan nilai dan sesuatu yang sangat berharga secara esensial dalam hidup kita seperti nilai hidup, spiritualitas dan relasi dengan orang yang kita cintai.

Sukses adalah soal aksi dan inspirasi. Masihkah kita mencari inspirasi lewat percakapan dengan diri kita? masihkah kita berefleksi tentang hidup kita? masihkah kita mencari inspirasi lewat doa-doa kita dan relasi kita dengan Tuhan? masihkah kita memberi waktu untuk berdoa? masihkah dan bisakah kita memberi waktu yang terbaik buat suami, istri, keluarga? masihkah kita berbicara dari hati ke hati dengan mereka? atau malah sebagian hidup kita sudah diwarnai pola hidup yang serba bergerak cepat, alias cepat adalah tanda sukses.

Situasi dan gaya hidup seperti sudah diurai di atas sungguh menantang kita untuk akhirnya memaknai "Finding God in All Things", atau menemukan Tuhan di dalam segala sesuatu. Bukan sesuatu hal yang mudah, dan yang jelas. Dimanakah dan bagaimanakah kita, masing-masing, anda dan saya menemukan dan memandang wajah Tuhan dalam hidup kita masing-masing? Ini selalu menjadi pertanyaan yang layak kita renungkan.

Semoga kita tidak tersesat oleh karena sukses, kecepatan dan kesibukan kita, dan tetap setia untuk mencari wajah Tuhan di dalam hari-hari peristiwa hidup kita.


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy

Sabtu, 01 September 2007

Bulan September Dalam Serikat Yesus

Bulan September, historically, sangat bermakna bagi Serikat Yesus Internasional dan juga Serikat Yesus Indonesia. Dalam sejarah Serikat Yesus, kita bisa mengetahui bahwa pada tanggal 27 September 1540, Paus Paulus III menyetujui dan mengesahkan berdirinya Serikat Yesus lewat Bulla "Regimini Militantis Ecclesiae". Dalam promulgasi Bulla ini disahkan pula Formula Instituti Serikat Yesus (ini seperti preambule dalam Undang-Undang Dasar). Perlu dicatat bahwa pada saat itu walaupun Paus Paulus III menyetujui berdirinya Serikat Yesus, namun beliau membatasi anggota Serikat Yesus hanya sampai sebanyak 60 orang. Dalam Formula Instituti ini salah satunya disebutkan secara khusus bahwa Serikat Yesus siap sedia diutus kemana saja oleh Bapa Suci untuk melakukan tugas-tugas misioner. Pada tanggal 21 Juli 1550, Paus Julius III mengeluarkan Bulla "Exposcit Debitum" yang merupakan final approval berdirinya Serikat Yesus, dan sekaligus menghilangkan ketentuan pembatasan jumlah anggota sebagaimana disebut dalam Bulla "Regimini Militantis Ecclesiae".

Bagi Serikat Yesus Indonesia, bulan September tahun 2007 ini adalah tepat satu windu (8 tahun) pengalaman kemartiran pertama yang dialaminya. Pada bulan September ini Serikat Yesus Provinsi Indonesia akan mengenang kembali kemartiran dari Pater Tarcisius Dewanto, SJ dan Pater Albrecht Karim Arbie, SJ yang terbunuh pada September 1999 di Timor Timur. Tentunya sebagai penghormatan dan pengenangan akan kedua sahabat Yesuit martir ini, www.ignatiusloyola.net akan menurunkan tulisan tentang pengalaman kemartiran ini tepat pada tanggal 6 September.

Pater Dewanto dibunuh oleh Milisi Timor-Timur di Gereja Suai pada tanggal 6 September 1999 ketika melindungi umat yang berlindung di dalam Gereja dari kejaran dan ancaman para milisi bersenjata. Menurut kesaksian dari mereka yang selamat, Pater Dewanto, SJ ditembak dari belakang ketika menyerukan kepada para milisi untuk menghentikan tembakan dan ancaman kepada umat yang ada di dalam Gereja. Setelah membunuh Pater Dewanto, para milisi juga membunuh 2 imam praja yang ada di dalam Gereja. Jenazah mereka ditemukan beberapa hari kemudian, dikuburkan di dekat pantai. Pater Dewanto, SJ pada saat itu berumur 34 tahun dan baru kurang lebih satu bulan ditahbiskan menjadi seorang imam.

Pater Albrecht Karim Arbie, SJ ditembak di depan Pastoran Jesuit di Taibessi tanggal 12 September 1999 (6 hari setelah terbunuhnya Pater Dewanto, SJ) ketika waktu itu Timor-Timur berada dalam suasana chaotic akibat jajak pendapat. Suasana yang kacau dan banyaknya milisi bersenjata dan kontak-kontak senjata tidak menggentarkan beliau untuk tetap bertahan di Timor-Timur. Beliau tetap setia untuk berada disana dan tidak "mengungsi" seperti kebanyakan pejabat Gereja Timor-Timur yang pada waktu itu tunggang langgang. Dalam usia tuanya, 70 tahun, Pater Albrecht yang adalah seorang missionaris Jesuit dari Jerman yang sudah lama berkarya di Indonesia ini dengan berani tetap hadir dalam suasana konflik yang sangat berbahaya di Timor-Timur. Timah panas memang mengakhiri hidupnya, namun cerita dan pesan dari hidupnya akan tetap selalu bergema, dan menyuburkan Gereja Timor-Timur. (Timor Leste sekarang).

Setelah mengenang kemartiran sahabat Jesuit di atas, pada bulan September ini ada seorang figur Jesuit Indonesia yang dikenal banyak orang dan aktif dalam dialog antar umat beragama akan merayakan pesta emas sebagai Jesuit. Beliau adalah Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ yang pada tanggal 7 September mendatang merayakan 50 tahun hidup sebagai seorang Jesuit. Kardinal Julius sebelum diangkat menjadi seorang Uskup pada tahun 1983 adalah juga Provinsial (Pimpinan) Serikat Yesus Indonesia di awal tahun 1980-an. Beliau masuk Serikat Yesus pada tanggal 7 September 1957, pada umur 23 tahun. Selengkapnya tentang beliau akan dihadirkan di www.ignatiusloyola.net pada tanggal 7 September mendatang. Bersama dengan Kardinal Julius, Pater Madyasusanta, SJ di Seminari Mertoyudan juga merayakan pesta emas dalam Serikat Yesus. Selain itu pada tanggal yang sama ada beberapa Jesuit lain yang merayakan 60 tahun dalam Serikat Yesus: Pater Louis Leahy, SJ (STF Driyarkara), Pater Opzeeland, SJ (Universitas Sanata Dharma/Kolese St. Ignatius, Yogyakarta), Pater Waskito, SJ dan Pater Oosthout, SJ. Keempat orang ini adalah para Jesuit missionaris dari Canada dan Belanda.

Tentunya, cerita tentang para Jesuit ini adalah cerita tentang soal kesetiaan dalam panggilan hidup sebagai Jesuit lewat cara, tantangan dan juga dinamika yang berbeda-beda. Terkadang kesetiaan terhadap panggilan itu harus dibayar mahal lewat pengorbanan hidup dan juga nyawa sepert dialami Pater Dewanto, SJ dan Pater Albrecht, SJ. 50 tahun sebagai Jesuit dalam diri Kardinal Julius juga merupakan sebuah peristiwa yang patut dirayakan dengan penuh syukur.

Tidak lupa untuk dirayakan adalah Pesta Kelahiran Santa Perawan Maria pada tanggal 8 September ini. Serikat Yesus dan Santo Ignatius memiliki rasa hormat dan devosi mendalam terhadap Santa Perawan Maria. Tentang Pesta Kelahiran Santa Maria ini tentu juga akan diangkat disini.

Selamat mengikuti, dan tetap kunjungi www.ignatiusloyola.net di hari-hari mendatang ini.

Ad Maiorem Dei Gloriam!


Bookmark Artikel Ini:
Digg Technorati del.icio.us Stumbleupon Google Share on Facebook! Reddit Blinklist Furl Spurl Yahoo Simpy