Ya saya pikir saya bisa memahaminya sungguh karena saya pun pernah mengalami hal yang sama terhadap banyak institusi. Namun demikian saya kira kita perlu memahaminya dengan lebih cermat mengingat ada banyak faktor dalam perubahan sosial budaya yang kita alami dewasa ini yang bisa mempengaruhi hal tersebut. Salah satu yang menyebabkannya adalah hasil dari kelengahan kita sekian lama. Kita tidak memberdayakan kaum awam sebagaimana kita buat di masa lalu dalam reksa pastoral kita kepada umat. Baru-baru ini saya membaca sebuah buku dari Pater Andrew Greeley, seorang sosiolog di Amerika. Buku ini memaparkan sebuah studi tentang imam-imam di Amerika Serikat. Studi ini mengungkapkan banyak hal khususnya tentang stereotype negatif terhadap para imam dan juga mempromosikan citra imam yang positif: Imam adalah pribadi yang normal dan biasa, tidak lebih buruk dari kebanyakan orang. Namun demikian, satu hal yang sungguh dikritik habis-habisan oleh Greeley adalah "budaya klerikalisme" (clerical culture). Dia mengatakan bahwa efek dari kultur macam ini adalah memburuknya pelayanan kepada umat (misalnya dalam kotbah/homili dan juga perayaan sakramen atau liturgi). Greeley membuat penelitian sosiologi yang membandingkan antara Imam Katolik dan Pendeta Protestan. Dalam 7 kategori yang digunakan dalam studi ini, Greeley menyimpulkan bahwa Pendeta Protestan memiliki performa yang lebih baik dibandingkan Imam Katolik, dalam hal sebagai berikut: keramahan kepada umat, respek kepada perempuan, dalam hal berkotbah, dalam pelayanan terhadap kaum muda, dalam hal kegembiraan dan humor dsb. Ini sungguh studi yang menarik. Lebih jauh lagi, di negara-negara yang dikatakan "negara katolik" seperti spanyol dan italia, dan beberapa tempat lain juga, anda bisa melihat bahwa pelayanan yang diberikan di paroki-paroki sangatlah minim sekali.
Di asia, saya sudah sekian lama dikejutkan oleh realitas ini. Bekerja bertahun-tahun di sebuah institut pastoral membuat saya menyadari bahwa problem yang sama juga terjadi di seluruh asia. Seringkali reksa pastoral seorang imam tidak terjadi sebagaimana seharusnya. Sebagai contoh: sakramen, yang bagi saya sungguh kaya, merupakan sebuah jalan yang sungguh menarik dan indah untuk memperkaya hidup banyak orang, karena sakramen itu sungguh berkaitan dengan hidup dan muncul dari realitas kehidupan manusia. Kita percaya bahwa kita berkomunikasi dengan Tuhan lewat sakramen. Sakramen mengalirkan rahmat untuk kita; Sakramen adalah anugerah Kristus untuk GerejaNya. Tetapi seringkali kita memutus jarak antara sakramen dan kehidupan nyata, dan menjadikan sakramen hanya sebatas ritual belaka, dan tidak berkaitan dengan hidup nyata sehari-hari. Sudah begitu lama kita mendengar keluhan dan tuduhan demikian, dan memang dalam banyak hal ungkapan itu merupakan sesuatu yang sungguh benar. Karl Bath sendiri mengatakan bahwa Gereja Katolik tidak memiliki "Teologi Perkawinan" tetapi hanya "Teologi Perayaan Perkawinan". Saya pikir ini berlaku juga untuk berbagai sakramen lainnya. Kita tidak memberikan kepada umat arti dan esensi sakramen yang sesungguhnya karena kita sudah melupakan asal-usulnya dan hanya memberikan kepada mereka bentuk rumusan dan ritual yang sudah paten: Rumusan dan ritual bahwa kita memiliki 7 sakramen dan harus dirayakan dengan cara-cara tertentu. Kurangnya keterkaitan antara pengalaman batin dan rohani dengan hidup real secara nyata telah membuat banyak keluarga dan komunitas dalam Gereja sungguh lemah. Dan sekarang ini kaum muda berhadapan dengan budaya baru dengan segala tantangannya. Mereka tidak memiliki sesuatu yang bisa menjadi inspirasi/pegangan hidup atau yang sama-sama atraktif. Inilah sebabnya mereka lebih tertarik untuk terlibat di dalam sekte-sekte dan gerakan-gerakan lainnya. Sekali lagi, vatikan sebenarnya sudah membuat studi yang hebat sekitar 20 tahun yang lalu berkaitan dengan sekte-sekte dan gerakan spiritual, dan mengapa banyak orang bergabung di dalamnya. Kita tidak pernah memperhatikan studi ini secara serius. Studi sudah dibuat, banyak poin terungkap di dalamnya, namun kita tidak juga pernah mengatakan: "inilah yang harus kita ubah dalam komunitas-komunitas kita". Dalam banyak hal lain, ini seringkali terjadi juga.
3 comments:
Setuju sekali dengan jawaban Pater. Para imam Katolik seringkali menyampaikan homili dengan cara yang amat sangat membosankan. Seringkali bertele - tele, berputar - putar, dan membuat umat tertidur. Para imam Katolik harus kembali merenungkan makna panggilan mereka masing - masing, apakah mereka hadir untuk membawa kabar gembira atau kabar ngantuk?
Namun demikian, pelayanan pastoral yang minim ini juga dapat disebabkan oleh jumlah imam yang minim. Di Paroki saya umatnya 12 ribu dan imamnya cuma 3. Sangat tidak mungkin memberikan perhatian kelas VIP kepada umat yang segitu banyak sebaik apapun kualitas imamnya.
Para orang tua juga dituntut untuk lebih mendukung anak-anak mereka yang merasa terpanggil untuk menjadi pelayan Tuhan.
Ad Maiorem Dei Gloriam
hm... JAM's www.god.co.id tampaknya bisa jadi referensi juga nih... ops... bukan promosi buku lho. :)
tulisan yang bagus...
Posting Komentar