Munculnya kembali pemberitaan kasus-kasus pelecehan seksual oleh beberapa imam Gereja Katolik yang dimuat oleh media massa internasional beberapa minggu terakhir ini semakin memberi indikasi bahwa ada masalah yang sungguh serius dan perlu segera dibenahi oleh Gereja Katolik dalam hal penanganan kasus pelecehan seksual. Mulai menyeruaknya beberapa kasus besar di daratan eropa seperti di Irlandia, Jerman dan Denmark rupanya semakin menguatkan dugaan bahwa tidak sedikit kasus pelecehan seksual yang tidak diselesaikan dengan penuh keadilan, dan rupanya kasus semacam ini bukanlah melulu monopoli Gereja Katolik di Amerika Serikat. Ada kemungkinan bahwa masalah ini merupakan masalah yang lebih umum di dalam Gereja Katolik universal.
Paul Moses, seorang professor jurnalistik dan penulis senior dalam bidang keagamaan mengamati bahwa antuasiasme media massa dalam mengungkapkan berbagai kasus pelecehan seksual di dalam Gereja Katolik terletak pada keingintahuan media tentang sejauh mana bisa ditemukan adanya konspirasi untuk menutupi kasus tersebut secara institusional, dan sejauh mana Gereja telah menindak pelaku kejahatan seksual yang dilakukan beberapa imamnya (dotCommonweal, 29 Maret 2010). Sejak merebaknya berbagai kasus skandal pelecehan seksual dalam Gereja Katolik tahun 2002 di Amerika Serikat, kalangan media selalu menemukan adanya pola-pola kecenderungan dari petinggi Gereja di berbagai keuskupan untuk tidak melakukan pengawasan dan tindakan tegas dan tepat bagi imamnya yang melakukan kejahatan ini. Ini terlihat dari fakta bahwa pelaku pelecehan seksual ternyata masih bebas “memangsa” korban-korbannya di tempat lain setelah mereka dipindahkan. Di sisi lain media menduga adanya kesengajaan dari pihak petinggi Gereja untuk menutupi kasus-kasus ini dengan motif untuk melindungi nama baik Gereja dan asset finansialnya. Bagi media, berita konspirasi dan “cover-up” yang dilakukan institusi sebesar Gereja Katolik inilah yang menjadi sebab mengapa kasus-kasus pelecehan seksual di dalam Gereja Katolik selalu menjadi “makanan empuk” liputan pemberitaan media-media sekuler.
***
Di sisi lain, sebagian kalangan Gereja Katolik seringkali menuduh bahwa berita-berita pelecehan seksual yang dimuat di banyak media sekuler lebih merupakan rekayasa pemberitaan yang berlebihan dan memiliki motif kampanye hitam untuk mendiskreditkan Gereja Katolik. Media menjadi kambing hitam yang dituduh tidak profesional dan diperalat oleh para pengacara atas motif finansial, dan dimanipulasi oleh organisasi yang berseberangan dengan Gereja atas motif politik, untuk tujuan mendelegitimasi otoritas Gereja Katolik di dalam perdebatan isu-isu moral di tengah publik. Uskup Nicholas DiMarzio, dari Keuskupan Brooklyn, New York misalnya bahkan sampai menyerukan kepada para imam dan umatnya untuk tidak lagi berlangganan harian New York Times. Himbauan ini disampaikan di dalam homili pada misa pembaharuan janji imamat para pastor, sebagai sebuah bentuk protes keras kepada harian tersebut yang dinilai telah melakukan kampanye terorganisir untuk mendiskreditkan Gereja Katolik dan para imamnya. New York Times selama dua minggu berkesinambungan telah menurunkan artikel-artikel yang mengungkap adanya skandal pelecehan seksual yang serius di dalam Gereja Katolik di Amerika dan Eropa. Lebih jauh bahkan DiMarzio secara eksplisit menyebutkan New York Times sebagai musuh Gereja. Masih menanggapi hal yang sama, George Weigel menyebutkan bahwa tudingan-tudingan dari New York Times adalah produk dari jurnalisme murahan (First Things, 29 Maret 2010). Weigel dengan tegas serta defensif menyatakan bahwa tidak ada institusi manapun di dunia ini, berkaitan dengan kasus pelecehan seksual, yang secara transparan mengakui kesalahannya di masa lalu dan memperbaikinya selain institusi Gereja Katolik.
Namun di balik segala ketidakakuratan ataupun subyektivitas yang dituduhkan kepada media, dari waktu ke waktu media telah berperan di dalam menunjukkan sesuatu yang esensial dan penting untuk disoroti dalam penanganan kasus pelecehan seksual oleh para imam Gereja Katolik, yaitu adanya
kultur klerikalisme. Kultur klerikalisme ini selalu cenderung untuk mempertahankan nama baik dan kuasa institusi atau kelompok klerus dalam Gereja Katolik. Kultur klerikalisme inilah yang dinilai menjadi penyebab munculnya konspirasi untuk menutupi banyak kasus pelecehan seksual dan tidak menyelesaikannya secara adil dan tepat demi para korban. Poin inilah yang harusnya menjadi fokus perhatian setiap kalangan Gereja Katolik, bahwa para korban tidak mendapatkan perlakuan yang baik dan perlindungan serta keadilan. Hak-hak mereka cenderung dikesampingkan oleh petinggi Gereja yang memiliki otoritas dalam menangani kasus pelecehan yang terjadi. Media massa mungkin saja memiliki banyak kepentingan dan sikap bias dalam memberitakan kasus-kasus tersebut, namun terlalu berfokus dan bersikap reaktif kepada media justru menunjukkan sikap Gereja yang sangat defensif, yang pada akhirnya akan dinilai oleh para korban sebagai sikap arogan dan tidak solider kepada mereka.
National Review Board, sebuah komisi yang dibentuk oleh Konferensi para Uskup di Amerika Serikat dan yang terdiri dari para awam untuk meneliti dan menyelidiki berbagai hal yang berkaitan dengan kasus-kasus pelecehan seksual menemukan beberapa indikasi yang menguatkan adanya kultur klerikalisme (cf.
John Jay Report). Pertama, banyak para uskup di dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual ternyata cenderung untuk berusaha menyembunyikan skandal ini dari perhatian dan sorotan umat dengan motif yang disebut “melindungi” iman umat. Sebagian uskup masih kuatir bahwa skandal yang terjadi akan mempengaruhi iman umat dan pada akhirnya dianggap membahayakan komunitas Gereja dan kredibilitas kaum klerus. Kedua, di dalam menghadapi kasus-kasus skandal pelecehan, sebagian uskup lebih memprioritaskan seberapa besar kerugian finansial yang akan terjadi dan berusaha sekuat tenaga untuk meminimalisir potensi kerugian. Kerugian yang besar akan menjadi pukulan telak buat pelayanan Gereja dalam bidang pewartaan, pendidikan, kesehatan dan pelayanan Gereja lainnya. Ketiga, para uskup cenderung lebih melindungi nama baik keuskupannya dengan melindungi para imam yang menjadi pelaku pelecehan seksual. Tindakan uskup yang demikian sebenarnya melupakan peranannya sebagai gembala umat yang harusnya berdiri melindungi dan mengayomi umat beriman di wilayah keuskupannya, bukan malah mengorbankannya demi sebuah nama baik institusi dan klerus.
***
Dalam konteks Indonesia, mungkin kasus-kasus pelecehan seksual oleh imam Gereja Katolik belumlah seheboh dan sedahsyat dengan pemberitaan yang terjadi di Amerika dan Eropa. Namun seperti dikatakan David Clohessy, pendiri jejaring para korban pelecehan oleh para imam (SNAP), krisis sebagaimana terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, dalam beberapa dekade mendatang diprediksi akan menjadi masalah global Gereja Katolik secara sporadis (
National Catholic Reporter, 11 Maret 2010). Clohessy berpendapat bahwa konspirasi dan “
cover-up” justru sangat rentan terjadi di negara-negara berkembang, di tempat dimana kesenjangan peran dan kuasa antara kaum klerus dan umat di dalam penyelenggaraan reksa pastoral Gereja masih sangat terbentang lebar, dan masih tingginya ketergantungan ekonomi umat kepada pejabat Gereja Katolik. Seiring dengan semakin kuatnya kesadaran hukum, dan juga peran media yang agresif, diprediksi kasus-kasus skandal ini akan muncul ke permukaan bagai bom waktu untuk masa depan bagi Gereja Katolik di negara-negara berkembang. Di Indonesia sendiri bukan tidak mungkin bahwa kasus pelecehan seksual yang sedang masuk dalam pemeriksaan proses hukum yang menimpa Anand Khrisna baru-baru ini bisa menjadi sebuah
“trigger” untuk kasus-kasus serupa yang dilakukan tokoh-tokoh spiritual ataupun pemuka agama tak terkecuali kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan imam Gereja Katolik, lengkap dengan semua hiruk pikuk media baik cetak maupun televisi.
Apa yang bisa dipetik dari kasus skandal pelecehan seksual di Amerika Serikat dan Eropa adalah pentingnya pihak Gereja, dalam hal ini para uskup dan pembantunya serta pimpinan ordo/tarekat religius untuk mau bersikap jujur dan sungguh mencari kebenaran dalam situasi apapun di atas segala-galanya serta solider dan melindungi para korban di dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual. Mereka hendaknya tidak melupakan perannya sebagai gembala umat ketimbang sebagai pejabat Gereja. Para uskup dan pimpinan ordo/tarekat religius sepatutnya menjadi teladan bagaimana keutamaan kristiani untuk rendah hati mengakui kesalahan, menyesal dan meminta maaf serta solider terhadap para korban sungguh diekspresikan secara nyata. Mungkin apa yang dibuat oleh para Jesuit di Kolese Kanisius di Berlin dapat menjadi refleksi kita bersama. Ketika tujuh kasus pelecehan seksual yang diduga terjadi selama beberapa tahun di kolese tersebut merebak ke publik, para Jesuit lantas mengangkat seorang pengacara perempuan untuk menangani kasusnya secara teliti dan terbuka. Mereka pun menghubungi para alumni untuk meminta bantuan agar para korban lain yang selama ini diam mau untuk muncul melaporkan kasus pelecehan yang dialami. Apa hasilnya? Paling tidak ada sekitar lebih dari seratusan korban melaporkan kasus pelecehan di sekolah tersebut. Dari sinilah terbongkar adanya sikap pasif dan pembiaran yang dilakukan beberapa superior Jesuit selama beberapa dekade terhadap kasus pelecehan seksual yang sebenarnya sudah dilaporkan. Pater Stefan Dartmann, Provinsial Jesuit Jerman pun meminta maaf kepada para korban atas keteledoran superior-superior terdahulu yang membiarkan kasus ini tidak terselesaikan. Walaupun memalukan dan dinilai oleh sebagian orang sebagai tindakan yang bodoh, namun demikian sikap jujur dan terbuka yang dilakukan Kolese Kanisius di Berlin untuk mencari kebenaran sungguh mencerminkan sikap moral kristiani yang sejati. Kejujuran dan kerendahan hati inilah yang banyak orang ingin melihatnya dari Gereja Katolik di tengah hiruk pikuk skandal seksual yang menimpanya.
Augustinus Widyaputranto
(artikel ini dimuat di Majalah Hidup edisi 18 April 2010)